Kehidupan berjalan begitu cepat tanpa
terasa. Waktu terus berputar. Detik demi detik, menit demi menit, jam berubah
menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan tanpa terasa
kalender pun berganti. Nyaris semuanya itu terjadi, tanpa banyak yang kita
sadari, bahwa umur kita semakin menipis adanya.
Rasanya baru kemarin kita memiliki tubuh
yang tegap, tulang yang kokoh, kulit yang kencang, tapi sekarang badan itu sudah
mulai membungkuk di bungkus kulit yang keriput. Rasanya baru kemarin kelincahan
masa muda kita rasakan, tapi kini lemah dan lelahnya hidup sudah terasa di
badan. Satu persatu penyakit menghinggapi. Mata rabun, pendengaran berkurang,
ketajaman ingatan terganggu.
Ya, senja kehidupan telah mulai menjelang.
Yang kesemuanya itu adalah tanda dari sekian tanda yang Allah berikan kepada
kita, itu adalah peringatan dari sekian peringatan yang dikirim oleh ar Rahman,
bahwa setiap jiwa pasti akan bertemu dengan akhir kehidupan. Itulah kematian.
Namun hawa nafsu kita yang liar menampik
semua kenyataan itu. Kita berusaha mengingkarinya. Menghibur diri dengan
membuang jauh-jauh ingatan akan datangnya kematian. Kita lebih suka mengingat
dan memikirkan aktivitas dan rutinitas keseharian. Besok makan apa dan dimana,
esok hari berhias dengan dandanan dan pakaian jenis apa, esok hari mengumpulkan
uang dengan cara apa dan bagaimana, demikian seterusnya. Bagi kita menyebut dan
mengingat kematian adalah aib yang tercela. Bahkan jika ada orang yang
menyebutkan tentang kematian dan dikait-kaitkan dengan diri kita, kita akan
marah dan boleh jadi akan mengusirnya.
Bahkan meskipun pengingat dari-Nya silih
berganti kita saksikan, namun tidak ada satupun yang mampu menyadarkan. Kita menyaksikan
bendera putih yang berkibar, kita menyaksikan jenazah yang diusung kepemakaman,
bahkan kita juga turut mengantarkannya, kita menyaksikan jenazah yang teronggok
kaku bahkan kita turut menshalatinya. Namun, kesemuanya itu bagi kita dan
kebanyakan orang berlalu tanpa makna, tidak terlintas sedikitpun bayangan dan
gambaran bahwa akan tiba jua gilirannya.
Yah, ini karena kebanyakan orang telah
menvonis kematian sebelum kematian menvonis dirinya. Dengan vonis, bahwa maut
tidak akan datang kepada kita kecuali terlebih dahulu meminta izin dan restu
kita. Ya, maut itu bukan untuk dirinya, ia untuk dan milik orang lain. Maut itu
silahkan mengetuk pintu rumah orang, namun ia tidak akan mengetuk pintu
rumahnya. Silahkan ia menghampiri ranjang orang lain, dan ia tercegah dari
ranjang tidurnya.
Lupakah kita akan peringatan Allah ta’ala,
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ
بِأَيِّ أَرْضٍ
"Dan tiada seorang pun yang dapat
mengetahui apa yang akan diusahakannya esok hari. Dan tiada seorang pun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia kelak akan meninggal dunia…” (QS. Luqman:
34).
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي
بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan
kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS An-Nisa :78)
Atau sebagian kitaberanggapan bahwa mati
itu bukan untuk diingat. Karena bisa melemahkan semangat dan membuat malas
berusaha. Benarkah demikian ? Tidak, justru dengan banyak dzikrul maut, ia akan
menkokohkan dan menguatkan semangat, menyegarkan kembali jiwa yang lesu,
meluruskan tujuan dan target yang melenceng. Karena itulah Rasulullah
shalallahu’alahi wasallam bersabda, “Perbanyaklah oleh kalian mengingat
penghancur kenikmatan, yaitu kematian.”
Dan beliau -shalallahu’alahi wasallam -
mengatakan, bahwa orang yang paling cerdas dalam menjalani kehidupan, adalah
mereka yang paling banyak mengingat kematian.
Semoga
bermanfaat. © AST
No comments:
Post a Comment