Monday 19 December 2022

PENULIS KITAB TERBESAR

 Oleh : Ahmad syahrin Thoriq

1. Ini adalah biografi ringkas seorang ulama besar yang telah menulis sebuah kitab tertebal yang belum pernah ditulis oleh manusia manapun karya sebesar itu  : Kitab al Funun. Sebuah maha karya yang belum ada tandingannya hingga hari ini. Silahkan dibaca tentang kitab al Funun di sini :

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02drRDhY6iMGE7PrBQh4HSYCFMAN1u9HF1jaczTa5zb8w5pMpUK83FHRUiXZ1yTKUZl&id=100052060325794&mibextid=Nif5oz

2. Beliau adalah al imam Abu Wafa’ Ali bin Aqil al Hanbali rahimahullah. Ulama yang zuhud, dermawan dan memiliki segudang karya. Berkata al Imam Ibnu Hajar rahimahullah tentangnya :

أحد الأعلام وفرد زمانه علما ونقلا وذكاء وتفننا... من كبار الأئمة

“Salah seorang ulama paling alim, yang jarang ada bandingannya di zamannya. Orang yang berilmu, menjadi rujukan dan sangat cerdas. Termasuk dari pemukanya para imam.”[1]

Al Imam Ibnu Jauzi rahimahullah berkata :

كان ابن عقيل دينا، حافظا للحدود، فظهر منه من الصبر ما يتعجب منه، وكان كريما ينفق ما يجد، وما خلف سوى كتبه وثياب بدنه

“Ibnu Aqil orang yang kuat dalam beragama dan sangat menjaga hukum-hukum agama. Telah nampak pada dirinya sifat sabar yang mengagumkan. Ia orang yang dermawan karena selalu menginfaqkan apapun yang ia miliki. Saat meninggal, ia tidak mewariskan kecuali kitab-kitab dan baju yang melekat di badannya.”[2]

Beliau juga berkata :

هو فريد فنه، وإمام عصره، ظاهر المحاسن

“Dia memiliki keunikan sendiri dalam karyanya, imam di zamannya yang nampak jelas kebaikannya.”[3]

3. Banyak yang keliru mengira bahwa beliau ini juga yang mensyarah Alfiah Ibnu Malik, nadzam ilmu nahwu yang sangat terkenal itu. Padahal Syarah Ibnu ‘Aqil tersebut adalah karya ulama lain yang kebetulan saja namanya sama dengan beliau, yakni Ibnu Aqil. Nama aslinya Abdullah bin Abdurrahman, ulama Syam yang wafat tahun 769 H. Terpaut jauh dengan Ibnu Aqil al Hanbali yang wafat di tahun 513 H.

3. Di awal kehidupannya sempat terpengaruh oleh arus pemikian aliran Mu’tazilah, lalu beliau bertaubat dan kembali ke pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah.[4] Berkata Ibnu Atsir rahimahullah :

كان قد اشتغل بمذهب المعتزلة في حداثته على ابن الوليد، فأراد الحنابلة قتله، فاستجار بباب المراتب عدة سنين، ثم أظهر التوبة

“Di masa mudanya ia sempat sibuk dengan madzhab Mu’tazilah asuhan Ali bin Walid.  Sehingga kalangan Hanabilah ingin membunuhnya. Lalu ia minta perlindungan ke pemerintah beberapa tahun, hingga ia menyatakan taubatnya.”[5]

Ibnu Hajar al Asqalani berkata : “Beliau ini termasuk ulama besar. Memang benar, dulunya Ibnu Aqil penganut faham mu'tazilah. Akan tetapi, beliau telah menyatakan diri bertaubat. Taubatnya pun sungguh-sungguh. Bahkan, beliau menulis kitab untuk membantah kaum mu'tazilah”[6]

Karena kecerdasannya yang luar biasa, ketika ia masih teracuni oleh pemikiran Mu’tazilah sekalipun, tak ada satupun orang yang bisa mengalahkannya dalam perdebatan. Al imam adz Dzahabi berkata :  

لم يكن له في زمانه نظير على بدعته

“Tidak ada di zamannya yang bisa mendebat untuk membantah kebid’ahannya.”[7]

4. Saat menyatakan taubat, sang imam mengundang begitu banyak orang termasuk para ulama dari berbagai madzhab untuk menyaksikan pertaubatannya tersebut, seraya berkata :

إني ‌أبرأ ‌إلى ‌الله ‌تعالى ‌من ‌مذاهب ‌مبتدعة ‌الاعتزال ‌وغيره، ومن صحبة أربابه، وتعظيم أصحابه... فأنا تائب إلى الله تعالى من كتابته، ولا تحلَّ كتابتُه، ولا قراءتُه، ولا اعتقادُه

“Aku berserah kepada Allah dengan berlepas diri dari pemahaman bid’ah mu’tazilah dan pemikiran semisalnya. Dan dari  mengikuti para tokohnya, dari mengagungkan pengikutnya....

Aku bertaubat kepada Allah dari apa yang pernah aku tulis itu. Maka aku tidak membolehkan siapapun untuk menyalinnya, membacanya atau menjadikannya sebagai rujukan pemahaman.”[8]

Apa yang beliau lakukan ini menunjukkan kebeningan hati, ketawadhu’an dan sikap yang sangat kesatria. Beliau menyatakan dengan terus terang ketergelincirannya tanpa gensi demi agar orang-orang tidak mengikuti kesalahan yang beliau lakukan. Padahal, jika dibandingkan dengan sekarang ini, bisa jadi kesalahan beliau itu tidak akan dianggap oleh kebanyakan orang. Dan bagi pelakunya cukup ngeles sedikit, terjagalah “harga diri”.

Berkata Ibbnu Hajar al Asqalani :

وصحت توبته ثم صنف في الرد عليهم، وقد أثنى عليه أهل عصره ومن بعدهم

“Dan sungguh benar taubatnya dan ia menyusun tulisan untuk membantah pemahaman mereka’(mu'tazilah). Dan telah menyanjungnya ulama di zamannya dan juga zaman setelahnya.”[9]

5.vBeliau dikenal sebagai orang yang sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan waktunya. Bahkan agar bisa maksimal dalam ibadah, khususnya untuk menyusun karya-karyanya, sang imam memangkas beberapa aktivitasnya yang sebenarnya juga tidak terlalu memakan waktu, seperti makan, minum dan ke toilet.

Beliau berkata :

وأنا أقصر بغاية جهدي أوقات أكلي، حتى أختار سف الكعك وتحسيه بالماء على الخبز، لأجل ما بينهما من تفاوت المضغ، توفرا على مطالعة، أو تسطير فائدة لم أدركها فيه

“Sebisa mungkin aku meringkas waktu makan, sehingga aku memakan kue yang telah dicelup dengan air dari pada roti kering. Karena ada selisih waktu yang dibutuhkan antara keduanya untuk dikunyah. Supaya waktuku untuk mentela’ah ilmu lebih optimal, dan mengejar faidah ilmu yang tertinggal.”[10]

Berkata al Imam Ibnu Jauzi rahimahullah tentang diri beliau :

‌وكان دائم التشاغل بالعلم... وكان ‌له ‌الخاطر ‌العاطر، ‌والبحث ‌عن ‌الغوامض ‌والدقائق

“Beliau senantiasa sibuk dengan ilmu, memiliki otak yang sangat cerdas dan kemampuan menyelami masalah-masalah pelik dan detail permasalahan.”[11]

6. Kitab al Funun bukanlah satu-satunya karya al imam Ibnu Aqil rahimahullah. Sebagian ulama menyebutkan masih ada karya lain sebanyak 20  judul kitab yang telah ia susun, diantaranya adalah kitab Al Jadal ala Tariqat Al Fuqaha, Kitab al Fushul, kemudian Kifayat al Mufti, Umadah al Adillah, al Mufradat at Tadzkirah, al-Isyarah dan al Mantsur, al-Irsyad. Namun sayangnya karya-karyanya termasuk banyak yang tidak utuh.

7. Ada sebuah kisah unik dalam kehidupan imam Ibnu Aqil. Yang memberikan pelajaran sangat berharga. Mari kita simak kisahnnya lewat penuturan beliau sendiri : Aku pernah pergi saat berhaji menemukan kalung permata dengan untaian benang merah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki tua lagi buta, mencarinya dan berjanji kepada siapa saja yang menemukan dan mengembalikan kepadanya  akan di beri imbalan 100 dinar (390  juta).

Aku pun mengembalikan kalung tersebut kepadanya, dan saat itu ia akan memberikan imbalannya aku menolaknya.

Kemudian, setelah menyelesaikan ibadah haji aku menuju Syam dan berziarah ke masjidil Aqsha sebentar. Saat sampai di Aleppo, aku menginap di sebuah masjid dalam keadaan kedinginan dan kelaparan.

 Lalu ketika tiba waktu shalat, orang-orang pun memintaku menjadi Imam. Aku pun mengimami mereka. Selesai shalat, aku dijamu makan oleh mereka.

Peristiwa itu terjadi di awal Ramadhan. Salah satu dari mereka berkata kepadaku :

إمامنا توفي، فصل بنا هذا الشهر

 ‘Imam kami baru saja meninggal, kami berharap engkau mau menjadi imam shalat kami selama sebulan ini.

 Aku pun memenuhi keinginan mereka.  Setelah beberapa waktu, mereka berkata :

لإمامنا بنت. فزوجت بها

“Imam kami punya seorang anak gadis. Maukah Engkau menikah dengannya ?”

 Aku pun akhirnya menikahi putri sang imam....

Pada suatu hari aku mengamati istriku, ternyata di lehernya ada seuntai kalung permata dengan benang merah yang dulu aku temukan di Makkah, maka aku katakan kepada istriku,

لهذا قصة

"Kalung ini memiliki sebuah kisah."

Kemudian aku mengkisahkan peristiwa ketika dahulu aku menemukan kalung itu di Makkah.  Mendegar kisahku itu, istriku pun menangis lalu berkata :

أنت هو والله، لقد كان أبي يبكي، ويقول: اللهم ارزق بنتي مثل الذي رد العقد علي، وقد استجاب الله منه

“Aduhai, berarti laki-laki itu adalah dirimu ! Demi Allah, ayahku waktu itu menangis dan ia pernah berdoa : Ya Allah, karuniakanlah putriku seorang suami seperti laki-laki yang mengembalikan kalung ini. Sungguh Allah telah mengabulkan doa ayahku.”[12]

Semoga bermanfaat.



[1] Lisan al Mizan (5/563)

[2] Siyar A’lam Nubala (19/446)

[3] Siyar A’lam Nubala (19/447)

[4] Ma’rifatul Qura (1/380)

[5] Tarikh Ibnu Atsir (10/561)

[6] Lisanul Mizan (4/243)

[7] Siyar A’lam an Nubala (19/445)

[8] Dzail Tabaqat al Hanabilah (1/322)

[9] Lisan al Mizan (4/243)

[10] Qaimah az Zaman ‘indal Ulama hal. 54

[11] Adz Dzail ‘ala Thabaqat al Hanabilah (1/145)

[12] Siyar A’lam Nubala (19/449-450)

Sunday 18 December 2022

ULAMA DENGAN KARYA PALING SPEKTAKULER


Oleh : Ahma Syahrin Thoriq

1. Ulama yang satu ini meski hidup di zaman yang sudah telat dari kelahiran madzhab-madzhab fiqih, namun beliau adalah sedikit ulama yang bisa sampai ke level derajat mujtahid mutlak, sehingga kemudian mampu mendirikan madzhab sendiri yakni madzhab Jaririy. Imam adz Dzahabi berkata tentangnya :

وكان من كبار أئمة الاجتهاد

“Beliau adaah temasuk dari pembesar ulama di level mujtahid.”[1]

Hanya saja sayangnya madzhab ini punah beserta sebagian besar karyanya yang juga hilang.

2. Para ulama di zamannya dan zaman setelahnya sepakat atas keimamannya dalam berbagai disiplin ilmu. Baik dalam ilmu tafsir, hadits, sejarah, bahasa dan lainya.

Berkata al Qafthiy rahimahullah :

 جامع العلوم لم يُرَ في فنونه مثله، وصنف التصانيف الكبار منها تفسير القرآن الذي لم يُرَ أكبر منه، ولا أكثر فوائد

“Dia telah menggabungkan dalam dirinya semua ilmu, yang tidak pernah ditemui orang yang menguasai berbagai cabang ilmu seperti dirinya. Ia telah menyusun karya-karya besar, diantaranya adalah tafsir al Qur’an yang tidak diketahui ada kitab tafis yang sebesar itu kedudukannya dan tidak ada yang lebih banyak faidahnya.”[2]

Al imam Khathib al Baghdadi rahimahullah berkata tentangnya :

كان أحد أئمة العلماء، يحكم بقوله، ويرجع إلى رأيه لمعرفته وفضله، وكان قد جمع من العلوم ما لم يشاركه فيه أحد من أهل عصره، فكان حافظا لكتاب الله، عارفا بالقراءات، بصيرا بالمعاني، فقيها في أحكام القرآن، عالما بالسنن وطرقها، صحيحها وسقيمها، وناسخها ومنسوخها، عارفا بأقوال الصحابة والتابعين، عارفا بأيام الناس وأخبارهم، وله الكتاب المشهور فيأخبار الأمم وتاريخهم) وله كتاب (التفسير) لم يصنف مثله

“Beliau adalah salah satu ulamanya ulama, perkataannya bijaksana dan selalu dimintai pendapatnya karena pengetahuannya dan kemulyaannya. Beliau telah mengumpulkan ilmu-ilmu yang tidak penah ada seorangpun yang melakukannya semasa hidupnya.

Beliau adalah seorang Hafidz, pandai ilmu Qira’at, ilmu Ma’ani, dan sangat paham tehadap hukum-hukum Al Qur’an, tahu sunnah dan ilmu cabang-cabangnya, serta tahu mana yang shahih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya, perkataan shahabat dan tabi’in, tahu sejarah hidup manusia dan keadaanya. Beliau memiliki kitab yang masyhur tentang “sejarah umat dan beografinya” dan kitab tentang “tafsir” yang belum pernah ada mengarang semisalnya dan kitab yang bernama “Tahdzibul Atsar” yang belum pernah aku lihat semacamnya, namun belum sempurna ditulis.

Beliau juga punya kitab-kitab banyak yang membahas tentang “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari aqwal para FuqohaAl-Hasan bin Ali al-Ahwazi menyatakan, “Dalam semua bidang ilmu, Imam ath-Thabari melahirkan karya bernilai tinggi yang mengungguli karya para penulis lain.”[3]

Imam Nawawi rahimahullah berkata :

أجمعت الأمة على أنه لم يصنف مثل الطبري

“Umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menulis karya semisal imam Thabari.”[4]

Imam Suyuthi rahimahullah berkata :

الإمام أبو جعفر، رأس المفسرين على الإطلاق، أحد الائمة، جمع من العلوم ما لم يشاركه فيه أحد من أهل عصره،

“Imam Thabari adalah penghulunya ahli tafsir secara mutlak. Telah mengumpulkan ilmu dalam dirinya yang tidak ada yang seperti beliau di zamannya...”[5]

3. Beliau adalah ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya. Bahkan konon kehidupannya yang membujang hingga wafat dikaitkan dengan kesibukannya dalam berdakwah, menulis dan melayani umat.

Beliau dalam kurun waktu 40 tahun menulis setiap harinya 40 lembar, sehingga dalam waktu ini saja ia melahirkan tulisan sejumlah 548.000 lembar atau 1.168.000 halaman ! Ini belum ditambah dengan waktu-waktu yang lain yang ia menulis setiap harinya tidak sampai 40 lembar dalam sehari. Ibnu Katsir berkata :

وقد روي عنه أنه مكث أربعين سنة يكتب في كل يوم أربعين ورقة

Telah diriwayatkan bahwa beliau pernag berdiam selama 40 tahun dan setiap harinya menulis 40 lembar.[6]

Syaikh Abdul Fattah Abu Ghudah berkata :

ابن جرير أعظم مؤلف في الإسلام كثرة تأليف وحسن تصنيف أحرز الإمام ‌ابن ‌جرير ‌الطبري قصب بالسبق في التصنيف في إتقان، مع عموم النفع

“Imam Ibnu Jarir Thabari adalah pengarang terbesar dalam Islam, sebab selain banyak karyanya, juga karena bagusnya susunan tulisannya. Beliau juga unggul dalam masalah ketelitian dan  luasnya manfaat dari karya-karyanya.[7]

 

4. Beliau adalah ulama yang sangat zuhud dan wara’.  Berkata al imam Ibnu Katsir rahimahullah :

وكان من العبادة والزهادة والورع والقيام في الحق لا تأخذه في ذلك لومة لائم،... وكان من كبار الصالحين

“Beliau adalah ahli ibadah yang sangat zuhud, wara dan menegakkan kebenaran yang tak peduli celaan dari orang yang suka mencela... Beliau adalah termasuk dari pemukanya orang-orang shalih.”[8]

Syaikh Muhammad Zuhaili berkata :

وكان الطبري زاهدًا في الدنيا، غير مكترث بمتاعها ومفاتنها، وكان يكتفي بقليل القليل أثناء طلبه للعلم...ويمتنع عن قبول عطايا الملوك والحكام والأمراء

“Imam Thabari adalah orang yang zuhud terhadap dunia. Bersikap acuh tak acuh terhadap pesona dunia dan kesenangannya. Beliau selalu merasa cukup dengan yang sedikit sejak berstatus sebagai penuntut ilmu.  Dan ia mencegah dirinya dari menerima pemberian daripara raja, penguasa ataupun pejabat.”[9]

Beliau pernah  menolak secara halus hadiah uang sebesar 1000 dinar (sekitar Rp3,9 miliar) dari seorang pejabat negara bernama Abbas bin Hasan atas bukunya yang ia tulis.

 

Di lain waktu, karena tulisannya yang sangat bermutu seorang pejabat memberikan kepadanya 3000 dinar (lebih dari Rp 11,7 miliar), beliaupun menolak dengan mengatakan, “Aku tidak bisa membalas hadiah sebesar itu dengan yang lebih baik.”[10]

Hal ini karena beliau memiliki kebiasaan membalas pemberian orang lain dengan sesuatu yang lebih baik lagi dari apa yang ia terima.

5. Imam Thabari sangat anti meminta-minta meski dalam kondisi terpaksa. Pernah semasa masih berstatus sebagai pelajar, ia tidak memiliki uang sepeserpun untuk memenuhi kebutuhannya. Akhirnya ia memotong kain lengan bajunya, lalu ia jual sekedar untuk bisa membeli makanan untuk mengganjal perutnya.[11]

Ia mengungkapkan diantara alasan mengapa sangat anti meminta kepada siapapun dalambait syairnya :

إذا أعسرت لم يعلم رفيقي … وأستغني فيستغني صديقي حيائي حافظ لي ماء وجهي … ورفقي في مطالبتي رفيقي

ولو أني سمحت بماء وجهي … لكنت إلى العلى سهل الطريق

Ketika aku kesulitan uang

Tidak satupun sahabatku yang tahu

Tapi ketika aku punya uang

Sahabatku ikut merasakan kesenanganku

Rasa malu menjaga air mukaku

Rasa enggan meminta adalah sifatku

Andai saja aku mau menahan sedikit rasa malu

Jalan menjadi kaya terlalu mudah bagiku.[12]

 

6. Beliau semasa hidupnya termasuk yang banyak menghadapi fitnah dan tuduhan palsu dari lawan-lawan atau dari orang-orang jahil. Sang imam pernah dituduh berpaham syiah, karena menshahihkan hadits Ghadir Khum.[13] juga pernah dicap sebagai pengikut paham ahlu dzahir. Beliau juga pernah mengalami pemboikotan oleh sebagian pengikut madzhab Hanabilah yang marah kepadanya.[14]

Disebutkan bahwa beliau pernah membantah sebagian pendapat Daud adz Dzahiri, lalu anaknya Daud, yakni yang bernama Abu Bakar bin Daud karena membela ayahnya kemudian membuat beberapa tuduhan kepada imam Thabari, dan ini yang mempengaruhi kalangan Hanabilah hingga mereka melarang orang-orang untuk hadir di majelisnya.[15]

Imam ibnu Khuzaimah berkata :

ما أعلم على أديم الأرض أعلم من ابن جرير، ولقد ظلمته الحنابلة

“Aku tidak mengetahui seseorang yang tinggal di bumi ini yang lebih berilmu dari Ibnu Jarir ath Thabari, dan sungguh telah mendzaliminya kalangan Hanabilah.”[16]

7. Ketika dalam kondisi sakit di hari kewafatannya. Orang-orang karena melihat kondisinya yang sudah payah menyarankan sang imam untuk menjama’ saja antara Dzuhur dengan Ashar. Namun ia menolak. Ia tetap mengerjakan shalat pada waktunya dengan raka’at yang panjang.

Syaikh Ahmad bin Muhammad al Adnahwi berkata :

واجتمع في جنازته خلق لا يحصون، وصلي على قبره عدة شهور، ورثاه خلق

“Dan berkumpul untuk mengiringi jenazahnya manusia dalam jumlah yang tidak bisa dihitung, orang-orang masih menyalatkannya dikuburannya hingga waktu hampir satu bulan.”[17]

7. Meski memiliki segudang karya, imam Thabari tetap bukanlah ulama dengan kitab karangan terbanyak. Masih ada para ulama lain yang mengungguli dari sisi jumlah banyaknya karya. Seperti Ibnu Aqil yang memiliki kitab al Funun yang jumlah jilidnya hingga 800 buah. Ada Ibnu Abi Dunya yang memiliki tulisan hingga 1000 karya. Atau Ibnu Syahin yang konon punya kitab 330 judul, kitab tafsir 1000 jilid dan kitab hadits 1.500 jilid.[18]

Namun keunggulan beliau yang tidak dimiliki oleh penulis lain adalah, beliau menghimpun banyak keunggulan. Pertama karya-karyanya selain lebih banyak dan masih digunakan hingga hari ini. Juga beliau unggul dalam sistematika penulisan yang sangat rapi, karyanya juga meliputi berbagai disiplin ilmu dan yang paling luas penggunaannya di tengah-tengah umat karena isinya sangat bermutu.

Syaikh Abdul Fatah Abu Ghudah berkata :

فلم يكن أحد من المتقدمين يبلغ مداه في الكثرة مع الإتقان وعموم النفع لوقتنا هذا، فلم يتفق هذا لغيره فيما أظن، فيصح أن يقال: إنه أعظم مؤلف في الإسلام

“Belum pernah ada ulama terdahulu yang karyanya sebanyak dan sesempurna karya-karya beliau sekaligus yang paling luas manfaatnya hingga generasi kita hari ini. Menurut saya, belum ada ulama yang menyamainya dalam sisi ini. Dan sah saja jika dikatakan : ‘Dia lah penulis paling spektakuler dalam Islam.”[19]

Wallahu a’lam.



[1] Siyar a’lam an Nubala (14/269)

[2] Inbah ar Rawah (3/89)

[3] Siyar A’lam Nubala (14/269-270)

[4] Tahdzib al Asma’ wa al Lughat (1/78)

[5] Thabaqat al Mufasirin hal. 82

[6] Bidayah wa Nihayah (11/165)

[7] Qaimah Zaman inda al ‘Ulama hal. 86

[8] Bidayah wa Nihayah (11/166)

[9] Al Imam ath Thabari hal. 68

[10] Siyar A’lam Nubala (14/270)

[11] Siyar A’lam an Nubala (14/276)

[12] Tarikh al Baghdadi (2/165)

[13] Tazkirah al-Hufadz (2/713)

[14] Siyar A’lam Nubala (14/273)

[15] Siyar A’lam Nubala (14/277)

[16] Bidayah wa Nihayah (11/166)

[17] Tabaqat al Mufasirin hal. 97

[18] Qaimah Zaman inda al ‘Ulama hal. 85

[19] Qaimah Zaman inda al ‘Ulama hal. 86