Wednesday 29 March 2017

WAHAI CINTA, KUTUNGGU ENGKAU DI SYURGA



Asma binti Abu Bakar adalah istri dari sahabat yang mulia Zubeir bin Awwam. Keduanya adalah pasangan suami istri yang serasi. Zubeir adalah kesatria di medan jihad yang selalu mendampingi Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Demikian juga Asma’ adalah salah seorang dari shahabiat yang paling banyak berkorban untuk Islam.

Asma dan Zubeir hidup dalam rumah tangga yang indah penuh cinta. Dari mereka lahir anak-anak yang hebat sehebat kedua orang tuanya. Sebut saja Urwah bin Zubeir yang merupakan ulamanya sahabat dan Abdullah bin Zubeir yang kelak menjadi khalifah meskipun sesaat.
Tapi Allah menakdirkan keduanya berpisah sementara di dunia. Ya, rumah tangga berakhir dengan perceraian, setelah bahtera itu berlayar hampir 30 tahun lamanya. 

Adalah Atikah binti Zaid seorang wanita yang sangat cantik. Yang kecantikannya kala itu sangat terkenal diseantero Madinah. Mungkin dari kita pernah membaca sebuah riwayat dimana Abu Bakar pernah menyuruh putranya, yakni Abdullah untuk menceraikan istrinya. Ya Abdullah diperintahkan menceraikan istrinya tersebut karena dinilai terlalu cisangat mencintainya, dan Abu Bakar khawatir itu akan melalaikan Abdullah dari Jihad fi sabilillah. Dan sang istri itu adalah Atikah binti Zaid.

Setelah kesyahidan Abdullah, Atikah lalu dinikahi oleh Umar bin Khattab. Dan ketika bersama al Faruq, pernah terjadi peristiwa kecemburuan beliau kepada Atikah sampai melarang Atikah shalat ke masjid. Dan setelah Kewafatan sayidina Umar, Zubeir bin Awwam menyatakan cinta dan ingin menikahinya.

Setelah menjadi istri, Zubeir bin Awwam sangat mencintai Atikah dan perhatiannya menjadi tercurah kepadanya. Ditambah lagi sifat Zubeir sangatlah pemburu. Sifat ini sudah sangat dipahami oleh Asma. Karena dalam sebuah riwayat dia pernah berkata kepada suaminya : “Tadi aku bertemu Rasulullah ketika aku membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang sahabat. Beliau menyuruh untanya duduk agar aku pergi bersamanya. Aku merasa malu dan teringat sifatmu yang pencemburu.

Dan kini cinta Zubeir seperti hanya diberikan kepada Atikah. Asma  pernah mengungkapkan perasaannya : “Kau memberikan padaku segalanya. Kau tanam benih-benih keturunan hebat para pejuang tauhid dirahimku. Kau mengokohkanku dengan nasehat tulus dalam setiap desahmu. Kau memberikan segalanya, kecuali cinta yang bergelora. Az Zubair, suamiku, jenis cinta apakah yang kemu miliki untukku?

Sebenarnya Zubeir bin Awwam sendiri berusaha tetap adil dan mencintai Asma. Bagaimana ia tidak mencintai Asma padahal ia telah bersama dalam bahtera cinta sekian lama. Namun cinta Zubeir yang terlalu dalam dan kecantikan Atikah membuat dia harus menjaga istrinya yang satu ini dengan ekstra ketat. Sedangkan ‘Asma yang sejak kecil merupakan perempuan pemberani tentu tidak melahirkan kekhawatiran di hati Zubair. Oleh sebab itu, perhatian Az Zubair terhadap ‘Asma tidak sebesar perhatiannya terhadap Atikah.

Akhirnya Asma dan Zubeir memilih untuk bercerai. Keduanya berpisah bukan karena kebencian, tapi justru karena cinta yang membuncah. Zubeir takut tidak bisa berbuat adil kepada Asma, dan Asma tidak mau suaminya jatuh kepada dosa kedzaliman karena menyia-nyiakannya. Asma kemudian menitipan suaminya tercinta kepada Atikah, yang juga sebenarnya tidak mengharapkan perceraian diantara mereka.

Setelah perceraian dengan Az Zubair, Asma focus mendidik anak-anaknya menjadi mujahid Islam. Ia tidak pernah menikah lagi, karena berharap bisa berkumpul dengan Zubeir selamanya di syurga. Ia pernah mendengar perkataan ayahnya, Abu Bakar As Shidiq : “Putriku, Sabarlah. jika seorang wanita mempunyai suami yang shaleh dan dia meninggal, lalu wanita itu tidak menikah setelah itu, mereka akan dipersatukan kembali di surga.” 

Setelah Az Zubair syahid dalam sebuah pertempuran, selang beberapa hari Asma menyusulnya. Seakan Asma telah mematri janji untuk sang suami : “Zubeir, biarlah kita terpisah di dunia sebentar, tapi kita akan bersama diakhirat dalam cinta yang kekal"

Subhanallah, inilah cinta para shalihin yang selalu suci dan tinggi. Tidak terkotori oleh rendahnya hawa nafsu. Semoga kita bisa meneladaninya.

Friday 10 March 2017

WIBAWA PARA ULAMA



Ada begitu banya hikmah dan pelajaran yang kami dapatkan ketika mengunjungi beberapa Kiyai pimpinan pondok pesantren. Ta’dzim dan pengagungan kepada ulama salah satunya. Yang sebenarnya bukan hal baru dan sama sekali tidak aneh bagi saya, yang juga pernah jadi santri. Namun ada kejadian menarik, selepas kami pamitan dari kediaman salah seorang ulama, seorang sahabat kami yang merupakan eks karyawan yang dulu cukup punya posisi berkata kepada saya : “Jangan berlebihanlah hormatnya. Dan antum kalau jadi kiyai jangan seperti itu ya…”
Saya balik bertanya : “Memangnya kenapa  ?”

Beliau mengatakan : “Itu terlalu berlebihan, masak Kiyai koq diperlakukan kayak raja.”
Saya sendiri tidak paham dimana letak berlebihan yang dimaksud oleh sahabat saya yang satu ini. Karena Kiyai yang kami temui biasa saja, sederhana dan menyambut kami dan tamu-tamu lain dengan ramah. Apa yang salah ? 

Saya berusaha memahami dan berkesimpulan instan beliau seperti itu karena memang berasal dari ‘dunia lain’. Dunia kerja dengan model yang tentu rullernya berbeda dengan kami para penuntut imu agama. 

Tapi saya mencoba untuk tidak memberikan jawaban asal. Saya hanya berharap punya kesempatan untuk meluruskan pemahaman sahabat saya, menghormati kiyai dan ta’dzim kepada Kiyai itu adalah ruh kehidupan para santri. Itulah adab, satu mata pelajaran maha penting yang telah dibabad habis dari kurikulum pendidikan anak-anak kita hari ini. Yang pada masa salaf, itu pelajaran pertama dan utama sebelum seorang pelajar belajar fiqih dan ilmu syariah lainnya.
Di malam harinya. Kami terlibat obrolan kecil kembali. Sahabat saya tersebut menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu salah satu mantan atasan diperusahannya meninggal dunia. Ia ceritakan banyak hal. Tapi saya kemudian mendapatkan satu modal untuk melanjutkan pembicaraan kami tadi siang, nah kena dia !
Saya berkata, “Antum begitu hormat kepada mantan atasan anda…”
 “Oh iya, yah dia itu dulu atasan yang bagus, begini begitu…” dia menjawab dan menambahkan deretan pujian kepada almarhum atasannya.
Saya kembali berkata, “Tidak masalah. Saya beberapa kali diundang hadir diacara penting perusahaan beberapa perusahaan dan instansi pemerintah. Direksi dan jajaran manajer begitu diagungkan karyawannya. Pimpinan begitu dihormati bawahannya. Itu biasa. Padahal mereka itu para bos itu apasih yang diberikan ? bukankah hanya cuilan-cuilan gaji dunia ? itu saja sudah begitu agung dan terhormat. Lalu bagaimana dengan kami para santri yang berhadapan dengan para ulama dan Kiyai yang dulu telah memberikan kepada kami ilmu dan petuah akhirat ?”

Beliau mengangguk-angguk tanda mulai memahami. Dan kemudian saya tambahkan beberapa kisah ulama salaful ummah yang memiliki haibah (wibawa) luar biasa dimata umat kala itu. Seperti Imam Malik yang jangankan orang biasa, bahkan pejabat tinggi bahkan khalifah terpekur kalau sudah dihadapan beliau. Atau Atho’ bin Abi Rabbah yang khalifah saja harus antri untuk sekedar mendengar nasehat darinya. Atau Abdullah bin Mubarak yang ketika ia tiba disuatu negeri, maka pasti orang-orang akan berlarian menyambutkanya sampai sandal-sandal mereka terputus.
Haibah seperti itu dimiliki oleh para ulama Rabbani karena mereka teguh dalam memegang warisan para Nabi. Yang tidak sudi merendah apalagi mengemis dipintu para penguasa untuk mendapatkan secuil dunia yang hina dengan ilmu mereka. Maka Allah muliakan mereka.
Hari ini kita berbicara tentang krisis akhlaq dan adab. Juga krisis para tauladan para ulama Rabbani yang memiliki Haibah. Musibah ini insyaallah bisa diatasi dengan kembalinya kita ketatanan adab ala kiyai dan  santri.

Wallahu a’lam.


Wednesday 1 March 2017

TANGIS UMAR BIN ABDUL AZIZ

Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik, ia menangis terisak-isak.
Umar memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan.
Di dalam tangisnya, Umar mengucapkan kalimat, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun. Demi Allah, sungguh aku tidak mengharapkan urusan ini sedikitpun, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan.”

Melihat kondisi sang Khalifah seperti itu, beberapa penyair datang dengan maksud ingin menghiburnya, tetapi Khalifah Umar menolak dengan baik.
Sikap Khalifah Umar itu turut mendapat perhatian anaknya yang resah melihat ayahnya menangis hampir sepanjang hari. Walaupun dia berusaha mencari penyebabnya, namun anak Umar gagal mendapat jawabannya.

Hal yang sama dilakukan oleh istrinya Fatimah. Fatimah berkata kepada suaminya, "Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti itu ?”

Umar bin Abdul Aziz menjawab, : "Wahai istriku, sekarang aku telah menjadi penanggung jawab urusan umat Muhammad. Terbayang olehku banyaknya para fakir miskin yang sedang kelaparan dan tidak mendapat perhatian dari pemimpinnya. Orang-orang sakit yang tidak mendapati obat yang memadai, orang-orang yang selama ini dizalimi, orang-orang lemah yang tidak berdaya dan penderitaan setiap rakyat dipelosok negeri ini."

Sang Khalifah melanjutkan kesedihannya, “Dan aku tahu sepenuh hati, bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawaban dariku, sebab hal ini adalah amanah yang terpikul di pundakku."
Ia kembali berkata : "Jika aku tidak menunaikan amanah itu, sudah pasti neraka menantiku. Sedangkan jika aku telah menunaikan amamah itu sekalipun, aku masih ragu, apakah Allah menerima atau menolak pekerjaanku ."
Khalifah Umar kemudian membaca Firman Allah dalam surat Yunus ayat 15 :

إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Sesungguhnya aku benar-benar takut akan adzab di hari yang besar jika mendurhakai Tuhanku.”

Maka Fatimah pun turut menangis bersama suami tercinta, Umar bin Abdul Aziz.
Semoga bermanfaat.©AST

'MADU' YANG RASANYA PAHIT


Kami terlibat obrolan asyik selepas menerima kunjungan seorang shahabat yang datang ke Subulana dengan membawa serta kedua istrinya.
Syaikh Rai berkata, "Kalian luar biasa, sepertinya ta'ddud (poligami) tidak terlalu bermasalah disini. Kalau di Mesir ini musykilah kabirah (masalah besar)."
Saya memberi komentar, "Disini juga masih menjadi masalah dan bahkan sumber fitnah. Tapi paling tidak, kami selangkah lebih baik dari Mesir dan bangsa Arab dalam masalah Ta'addud."
Syekh Ali bertanya, " Apa itu ?"

Saya menjawab, "Kalian menamai istri kedua, ketiga dan seterusnya dengan Dhorroh (bahaya) sedangkan kami menamai dengan 'Asl (madu)."
Serempak mereka berkomentar : 'Asl !!!???'
Saya jawab sok bangga : "Iya, madu."
Kedua syekh mengangguk-angguk.
Saya menyambung perkataan, "Harapan kami dengan nama yang baik akan mendatangkan kebaikan, sebagaimana manisnya madu.
Sebagian ahli bahasa kami mengatakan istilah 'madu' berasal dari kata “memadukan,” dinamakan demikian sebab seorang suami telah memadukan istri-istrinya. sebagaimana firman Allah :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

Syekh Ali mengungkapkan kekagumannya : "Ajiib !"
Saya : "Tapi ya gitu, baru sekedar nama, belum merubah esensi. Ta'addud masih menjadi sumber masalah karena dibenci orang yang belum paham atau disalahgunakan si hidung belang."
Syekh Rai langsung menimpali : "Berarti sekarang kami tahu ada madu yang rasanya pahit..."

Kamipun tertawa.

IZZAH MUSLIMIN YANG HILANG


Ketika pasukan muslimin yang dipimpin Hajib al Manshur menguasai beberapa wilayah Eropa, mereka lupa mencabut satu bendera yang mereka tancapkan disalah satu bukitnya.
Akibatnya berbulan-bulan musuh dirundung ketakutan ketika melihat ar rayah yang gagah berkibaran.
Setelah sekian lama, barulah mereka sadar kalau muslimin telah meninggalkan tempat tersebut sejak lama.
...
Salah satu kerajaan di Eropa, meminta kepada Khalifah Turki Utsmani untuk mengirimkan bala bantuan karena kerajaannya terancam.
Khalifah hanya mengirimkan baju seragam prajurit Turki utsmani, agar dikenakkan oleh prajurit kerajaan tersebut.
Akibatnya musuh ketakutan karena mengira kerajaan tersebut kini telah dijaga oleh muslimin.
...
Demikianlah Izzah muslimin kala itu, seperti yang digambarkan dalam hadits : "Aku ditolong dengan rasa gentar yang Allah masukkan ke dalam hati musuhku sebelum berhadapan denganku sejauh jarak sebulan perjalanan…” (HR. Bukhari)

Kalau hari ini musuh sama sekali tidak takut dengan kaum muslimin, ini menunjukkan betapa jauhnya kita dari agama dan betapa mesranya kita dengan dunia.
“Allah akan menghilangkan rasa takut dari hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’. Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu ‘wahn’?” Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad).

APA JAWABAN SAYA UNTUK ALLAH ?


Ibnu Umar bertemu dengan seorang pengembala kambing ditengah padang pasir. Lalu ia berniat untuk menguji pengembala tersebut.

Ibnu Umar berkata, "Wahai pengembala, juallah satu kambingmu kepadamu."
Pengembala tersebut berkata, "Aku hanya pengembala dan tuanku tidak memberi wewenang kepadaku untuk menjualnya."

Ibnu Umar kembali berkata, "Jual saja untuk dirimu sendiri. Dan jika tuanmu mengetahuinya dan menanyakannya jawab saja serigala telah menerkamnya."

Pengembala itu berkata, "Lalu apa jawabanku untuk Allah jika kelak Dia menanyaiku ?"
Mendengar perkataan tersebut, menangislah Ibnu Umar.