Friday, 10 March 2017

WIBAWA PARA ULAMA



Ada begitu banya hikmah dan pelajaran yang kami dapatkan ketika mengunjungi beberapa Kiyai pimpinan pondok pesantren. Ta’dzim dan pengagungan kepada ulama salah satunya. Yang sebenarnya bukan hal baru dan sama sekali tidak aneh bagi saya, yang juga pernah jadi santri. Namun ada kejadian menarik, selepas kami pamitan dari kediaman salah seorang ulama, seorang sahabat kami yang merupakan eks karyawan yang dulu cukup punya posisi berkata kepada saya : “Jangan berlebihanlah hormatnya. Dan antum kalau jadi kiyai jangan seperti itu ya…”
Saya balik bertanya : “Memangnya kenapa  ?”

Beliau mengatakan : “Itu terlalu berlebihan, masak Kiyai koq diperlakukan kayak raja.”
Saya sendiri tidak paham dimana letak berlebihan yang dimaksud oleh sahabat saya yang satu ini. Karena Kiyai yang kami temui biasa saja, sederhana dan menyambut kami dan tamu-tamu lain dengan ramah. Apa yang salah ? 

Saya berusaha memahami dan berkesimpulan instan beliau seperti itu karena memang berasal dari ‘dunia lain’. Dunia kerja dengan model yang tentu rullernya berbeda dengan kami para penuntut imu agama. 

Tapi saya mencoba untuk tidak memberikan jawaban asal. Saya hanya berharap punya kesempatan untuk meluruskan pemahaman sahabat saya, menghormati kiyai dan ta’dzim kepada Kiyai itu adalah ruh kehidupan para santri. Itulah adab, satu mata pelajaran maha penting yang telah dibabad habis dari kurikulum pendidikan anak-anak kita hari ini. Yang pada masa salaf, itu pelajaran pertama dan utama sebelum seorang pelajar belajar fiqih dan ilmu syariah lainnya.
Di malam harinya. Kami terlibat obrolan kecil kembali. Sahabat saya tersebut menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu salah satu mantan atasan diperusahannya meninggal dunia. Ia ceritakan banyak hal. Tapi saya kemudian mendapatkan satu modal untuk melanjutkan pembicaraan kami tadi siang, nah kena dia !
Saya berkata, “Antum begitu hormat kepada mantan atasan anda…”
 “Oh iya, yah dia itu dulu atasan yang bagus, begini begitu…” dia menjawab dan menambahkan deretan pujian kepada almarhum atasannya.
Saya kembali berkata, “Tidak masalah. Saya beberapa kali diundang hadir diacara penting perusahaan beberapa perusahaan dan instansi pemerintah. Direksi dan jajaran manajer begitu diagungkan karyawannya. Pimpinan begitu dihormati bawahannya. Itu biasa. Padahal mereka itu para bos itu apasih yang diberikan ? bukankah hanya cuilan-cuilan gaji dunia ? itu saja sudah begitu agung dan terhormat. Lalu bagaimana dengan kami para santri yang berhadapan dengan para ulama dan Kiyai yang dulu telah memberikan kepada kami ilmu dan petuah akhirat ?”

Beliau mengangguk-angguk tanda mulai memahami. Dan kemudian saya tambahkan beberapa kisah ulama salaful ummah yang memiliki haibah (wibawa) luar biasa dimata umat kala itu. Seperti Imam Malik yang jangankan orang biasa, bahkan pejabat tinggi bahkan khalifah terpekur kalau sudah dihadapan beliau. Atau Atho’ bin Abi Rabbah yang khalifah saja harus antri untuk sekedar mendengar nasehat darinya. Atau Abdullah bin Mubarak yang ketika ia tiba disuatu negeri, maka pasti orang-orang akan berlarian menyambutkanya sampai sandal-sandal mereka terputus.
Haibah seperti itu dimiliki oleh para ulama Rabbani karena mereka teguh dalam memegang warisan para Nabi. Yang tidak sudi merendah apalagi mengemis dipintu para penguasa untuk mendapatkan secuil dunia yang hina dengan ilmu mereka. Maka Allah muliakan mereka.
Hari ini kita berbicara tentang krisis akhlaq dan adab. Juga krisis para tauladan para ulama Rabbani yang memiliki Haibah. Musibah ini insyaallah bisa diatasi dengan kembalinya kita ketatanan adab ala kiyai dan  santri.

Wallahu a’lam.


No comments:

Post a Comment