Ada begitu banya
hikmah dan pelajaran yang kami dapatkan ketika mengunjungi beberapa Kiyai
pimpinan pondok pesantren. Ta’dzim dan pengagungan kepada ulama salah satunya. Yang
sebenarnya bukan hal baru dan sama sekali tidak aneh bagi saya, yang juga
pernah jadi santri. Namun ada kejadian menarik, selepas kami pamitan dari
kediaman salah seorang ulama, seorang sahabat kami yang merupakan eks karyawan
yang dulu cukup punya posisi berkata kepada saya : “Jangan berlebihanlah
hormatnya. Dan antum kalau jadi kiyai jangan seperti itu ya…”
Saya balik bertanya : “Memangnya
kenapa ?”
Beliau mengatakan : “Itu terlalu
berlebihan, masak Kiyai koq diperlakukan kayak raja.”
Saya sendiri
tidak paham dimana letak berlebihan yang dimaksud oleh sahabat saya yang satu
ini. Karena Kiyai yang kami temui biasa saja, sederhana dan menyambut kami dan
tamu-tamu lain dengan ramah. Apa yang salah ?
Saya berusaha memahami dan berkesimpulan instan
beliau seperti itu karena memang berasal dari ‘dunia lain’. Dunia kerja dengan model
yang tentu rullernya berbeda dengan kami para penuntut imu agama.
Tapi saya
mencoba untuk tidak memberikan jawaban asal. Saya hanya berharap punya kesempatan
untuk meluruskan pemahaman sahabat saya, menghormati kiyai dan ta’dzim kepada
Kiyai itu adalah ruh kehidupan para santri. Itulah adab, satu mata pelajaran
maha penting yang telah dibabad habis dari kurikulum pendidikan anak-anak kita
hari ini. Yang pada masa salaf, itu pelajaran pertama dan utama sebelum seorang
pelajar belajar fiqih dan ilmu syariah lainnya.
Di malam
harinya. Kami terlibat obrolan kecil kembali. Sahabat saya tersebut menceritakan
bahwa beberapa hari yang lalu salah satu mantan atasan diperusahannya meninggal
dunia. Ia ceritakan banyak hal. Tapi saya kemudian mendapatkan satu modal untuk
melanjutkan pembicaraan kami tadi siang, nah kena dia !
Saya berkata, “Antum
begitu hormat kepada mantan atasan anda…”
“Oh iya, yah dia itu dulu atasan yang bagus,
begini begitu…” dia menjawab dan menambahkan deretan pujian kepada almarhum
atasannya.
Saya kembali
berkata, “Tidak masalah. Saya beberapa kali diundang hadir diacara penting
perusahaan beberapa perusahaan dan instansi pemerintah. Direksi dan jajaran
manajer begitu diagungkan karyawannya. Pimpinan begitu dihormati bawahannya. Itu
biasa. Padahal mereka itu para bos itu apasih yang diberikan ? bukankah hanya cuilan-cuilan
gaji dunia ? itu saja sudah begitu agung dan terhormat. Lalu bagaimana dengan
kami para santri yang berhadapan dengan para ulama dan Kiyai yang dulu telah
memberikan kepada kami ilmu dan petuah akhirat ?”
Beliau mengangguk-angguk
tanda mulai memahami. Dan kemudian saya tambahkan beberapa kisah ulama salaful
ummah yang memiliki haibah (wibawa) luar biasa dimata umat kala itu. Seperti
Imam Malik yang jangankan orang biasa, bahkan pejabat tinggi bahkan khalifah terpekur
kalau sudah dihadapan beliau. Atau Atho’ bin Abi Rabbah yang khalifah saja harus
antri untuk sekedar mendengar nasehat darinya. Atau Abdullah bin Mubarak yang
ketika ia tiba disuatu negeri, maka pasti orang-orang akan berlarian
menyambutkanya sampai sandal-sandal mereka terputus.
Haibah seperti
itu dimiliki oleh para ulama Rabbani karena mereka teguh dalam memegang warisan
para Nabi. Yang tidak sudi merendah apalagi mengemis dipintu para penguasa
untuk mendapatkan secuil dunia yang hina dengan ilmu mereka. Maka Allah
muliakan mereka.
Hari ini kita berbicara
tentang krisis akhlaq dan adab. Juga krisis para tauladan para ulama Rabbani yang
memiliki Haibah. Musibah ini insyaallah bisa diatasi dengan kembalinya kita ketatanan
adab ala kiyai dan santri.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment