Saturday 28 January 2023

SANG IMAM AGUNG

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Di zaman tabi’in munculah sebuah madrasah keilmuan yang awalnya berpusat di Kufah, namun kemudian meluas dan menjadi madzhab fiqih yang paling luas wilayah persebarannya dalam sepanjang sejarah Islam duhu hingga sekarang. Madzhab ini dikenal dengan nama madzhab Hanafi.

Madzhab ini dikenal dengan kekuatan logika, penalaran dan qiyasnya dalam merumuskan hukum-hukum fiqih, dan sang imam sebagai pendiri madzhab digelari dengan imam ahlu ra’yi atau pemimpinnya ahli akal. Dalam berbagai kitab para ulama, disebut juga dengan gelar Imamul A’zham yang artinya imam yang agung.[1]

Beliau adalah Al imam Abu Hanifah rahimahullah, nama aslinya Nu’mab bin Tsabit al Kufi. Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga berkata, “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kaabil, ada pula yang menyebut Baabil, ada yang menyebut Nasaa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut Al-Anbar, dan lainnya.

Cucunya yang bernama Ismail bin berkata :

ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.

Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah)  membawanya saat masih kecil kepada Ali bin Abi Thalib, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya. Dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali Radhiallahu ‘Anhu pada kami.”[2]

Sebab mengapa beliau mendapatkan panggilan Abu Hanifah berbeda-beda riwayatnya. Ada yang menyebutkan sebab karena kuatnya ibadahnya hingga ia disebut orang yang hanif, sebagiannya lagi karena beliau berobat dengan sejenis obat yang bernama Hanifah, sedangkan Abu Yusuf mengatakan sebabnya karena ia selalu membawa Hanif (semacam alat menyimpan tinta) kemana pun ia pergi.[3]

Pujian ulama kepada sang imam atas ilmunya

Al Imam Abdullah bin al Mubarak rahimahullah berkata :

ما رأيت رجلًا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتًا وحِلمًا من أبي حنيفة.

“Aku tidak pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, yang paling baik adab dan kesantunannya melebihi imam Abu Hanifah.”[4]

Beliau juga berkata :

أبو حنيفة أفقهُ الناس

“Abu Hanifah adalah orang yang paling paham fiqih.”[5]

Ali bin Asham rahimahullah berkata :

لو وُزن عقلُ أبي حنيفة بعقل نصف أهل الأرض، لرجَح بهم

“Seandainya ditimbang kekuatan akal Abu Hanifah dengan separuh penduduk bumi, niscaya dia akan mengalahkan mereka."[6]

Yahya bin Nashr rahimahullah berkata :

وكان من أفقهِ أهل زمانه وأتقاهم

“Beliau termasuk orang yang paling paham fiqih di zamannya dan orang yang paling bertaqwa.”[7]

 

Maki bin Ibrahim rahimahullah berkata :

كان أبو حنيفة أعلمَ أهلِ الأرض

“Abu Hanifah merupakan penduduk bumi yang paling berilmu.”[8]

Syadad bin Hakim berkata :

ما رأيت أعلم من أبي حنيفة

Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah.[9]

Imam Malik rahimahullah ketika ditanya apakah pernah melihat imam Abu Hanifah, maka beliau menjawab :  

نعم، رأيت رجلًا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبًا، لقام بحجَّته

“Iya, aku melihat seorang laki-laki yang seandainya ia mengatakan tiang yang terbuat dari kayu ini adalah emas, niscaya ia bisa mempertahankan pendapatnya.”[10]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

الناس في الفقه عيالٌ على أبي حنيفة

“Semua orang dalam urusan fiqih berhutang kepada imam Abu Hanifah.”[11]

Syaikh At Taqi al Ghazi rahimahullah berkata : “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang semasa dan setelahnya menjadi lemah di hadapannya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.”[12]

Ibadahnya

Asad bin Amru rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة

“Abu Hanifah rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun.[13]

Imam Abu Yusuf rahimahullah berkata :

‌كان ‌أبو ‌حنيفة ‌يختم ‌القرآن ‌كل ‌ليلة ‌في ‌ركعة

“Adalah imam Abu Hanifah biasa mengkhatamkan al Qur’an setiap malamnya hanya dalam satu raka’at.”[14]

Mis’ar bin Kidam juga berkata : “Aku pernah melihat Abu Hnaifah mengkhatamkan Qur’an dalam satu raka’at.”[15]

Yahya bin Abdul Hamid al Hamaniy dari ayahnya :  

أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر. قال: ‌فما ‌رأيته ‌صلى ‌الغداة ‌إلا ‌بوضوء ‌عشاء ‌الآخرة

“Bahwa ayahnya pernah bersama Abu Hanifah selama 6 bulan. Dan selama itu ia tidak melihat beliau shalat Shubuh kecuali dengan shalat Isya yang diakhirkan.”[16]

Qashim bin Mu’in rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالىبل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر. ويبكي ويتضرع إلى الفجر.

Abu Hanifah pernah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan larut dalam kekhusyu’an hingga fajar.[17]

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة ختم القرآن سبعة آلاف مرة

“Bahwa Abu Hanifah telah mengkhatamkan Qur’an sebanyak 7000 kali.”[18]

Kedermawannya

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang sangat dermawan. Dalam Thabaqatnya beliau rutin memberikan tunjangan kepada beberapa shahabatnya dan membiayai muridnya dalam belajar.

Bahkan sangking tak main-mainnya dalam mengalokasikan dana sedekahnya, beliau akan menganggarkan sedekah seninlai uang belanja dan kebutuhan untuk keluarganya.  Al Mutsanna bin Raja’ rahimahullah berkata :

جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بديناروكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.

Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu sejumlah nilai yang ia berikan untuk keluarganya.”[19]

Waki’ berkata :

وكان ‌إذا ‌اكتسى ‌ثوبا ‌جديدا ‌كسا بقدر ثمنه شيوخ العلماء

“Adalah Abu Hanigah jika menggunakan baju baru, maka ia juga akan memberi baju dengan nilai serupa kepada gurunya atau ulama.”[20]

Kecerdasannya yang luar biasa

Ada begitu banyak riwayat atau kisah yang menuturkan kecerdasan sang imam dalam menghadapi masalah yang pelik. Berikut ini diantarnya.

Khalifah al Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk ditawari jabatan sebagai hakim agung. Namun beliau menolak dengan mengatakan :

لا أصلح للقضاء

 “Saya tidak layak.”

Al Manshur berkata : “Engkau telah berbohong !”

Imam Abu Hanifah menjawab :

فقد حكم أمير المؤمنين علي أني لا أصلح،

“Nah bener kan, anda telah menetapkan hukum atas diriku wahai Amiral mukminin kalau saya memang tidak layak untuk jabatan tersebut.

فإن كنت كاذبا، فلا أصلح، وإن كنت صادقا، فقد أخبرتكم أني لا أصلح فحبسه.

“Kalau akau memang berdusta, aku memang tidak layak (Pendusta tidak pantas menerima jabatan). Sebaliknya, kalau aku jujur, sungguh aku telah mengatakan  : Aku memang tidak layak.”[21]

Kalau bahasa kita, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong koq bisanya anda   menginginkan saya jadi pejabat tinggi. Inilah jawaban telah Abu Hanifah untuk mengelak dari jabatan yang tidak bisa dibantah oleh khalifah.

Wafatnya

Al imam Abu Hanifah meninggal di  Baghdad tahun 150 H. Di tahun yang sama di Ghaza lahir al imam Syafi’i rahimahullah. Bisyr bin Al-Waalid mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”

Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berkata, :

رحمك الله تعالى وغفر لك، لم تُفطِر منذ ثلاثين سنة، ولم تتوسَّد يمينك بالليل منذ أربعين سنة، وقد أتعبتَ مَن بعدك، وفضحتَ القرَّاء

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa anda karena jasa-jasa yang telah anda berikan. Sungguh anda tidak pernah putus puasa selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian anda akan membuat lesu para fuqaha setelahnya.”[22]



[1] Mizanul I’tidal, 4/265)

[2] (Siyar A’lamin Nubala, 6/395)

[3] Min A’lam as Salaf hal. 222

[4] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[5] Ibid

[6] Tarikh  Baghdad (15/487)

[7] Al Intiqa hal. 163

[8] Bidayah wa Nihayah (10/110)

[9]  Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 29

[10] Siyar A’lam Nubala (6/399)

[11] Siyar A’lam Nubala (6/403)

[12] Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, Hal. 24

[13] Siyar A’lam Nubala (6/399)

[14] Tarikh Islami (9/195)

[15] Siyar A’lam Nubala (6/403)

[16] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[17] Ibid

[18] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[19] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[20] Akhbar Abu Hanifah wa Ashabihi hal. 60

[21] Siyar A’lam Nubala (6/402)

[22] Tahdzibut Tahdzib (5/630)

Wednesday 18 January 2023

DUA SENJATA MUKMIN

Kehidupan manusia hakikatnya hanya berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain. silih berganti dan berputar seperti roda pedati. Ada saatnya di atas, ada waktunya terbenam di lumpur.

Yang mana silih bergantinya keadaan hidup itu secara umum hanya terbagi menjadi dua : Keadaan menyenangkan dan keadaan yang menyedihkan. Maka dalam menghadapinya, seorang mukmin menggunakan senjata sabar dan syukur. Sabar dikala menghadapi musibah, bencana, kesedihan dan hal tak menyenangkan lainnya. Dan Syukur dikala mendapatkan karunia, kebahagiaan, kegembiraan dan hal menyenangkan lainnya.

 

            Sabar dan syukur adalah termasuk jenis amal yang sangat agung dalam Islam. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa iman itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sabar, dan bagian kedua adalah syukur. Dan siapa yang sempurna dalam syukur dan sabar, maka sempurnalah imannya.

 

Mughirah bin Musqim berkata :

 

الصبر نصف الإيمان، والشكر نصف الإيمان، واليقين الإيمان كله، ألم تر إلى قوله: إنَّ فِي ذلكَ لآياتٍ لكُلّ صَبَّارٍ شَكُورٍ

 

“Sabar itu separuh iman, Syukur separuh lainnya. Dan yakin adalah keimanan seluruhnya. Sebagaimana firman Allah  : ‘Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi setiap orang yang bersabar dan bersyukur.” (QS. Ibrahim : 5)[1]

 

            Melalui tulisan sederhana ini, kami akan membahas sedikit tentang bab syukur dan sabar, selamat menyimak.

Bab Sabar

Bahasan ini akan kami bagi menjadi empat bahasan, yakni (1) Bab sabar (2) Bab syukur (3) Kisah menakjubkan para ulama dalam kesabaran (4) Kisah menakjubkan ulama dalam syukur mereka.

Pengertian Sabar

Tentang definisi apa itu kesabaran,  ulama menjelaskan dalam berbagai bentuk terminologi yang berbeda-beda. Dan yang paling baik dan banyak digunakan oleh para ulama[2] adalah apa yang dinyatakan oleh Ibnu Hayan, sebagai mana yang dinukil oleh al imam ‘Aini rahimahullah :

‌الصبر ‌حبس ‌النفس ‌على ‌المكروه

“Sabar adalah menahan diri dalam menghadapi hal yang dibenci.”[3]

Sedangkan dalam pengertian yang hampir serupa, al Asfahani berkata : “Sabar adalah bertahan dalam kesempitan.”[4]

Kedudukan sabar

Banyak sekali ayat, hadits dan perkataan ulama yang menyebutkan tentang keutamaan sabar. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Al Qur’an

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.“ (QS. Ali Imran: 146)

وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.” (QS. Al Baqarah : 156)

Para ulama menjelaskan bahwa kabar gembira yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dengan diberikan syurga.[5]

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang diberikan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).

Al imam Auza’i rahimahullah mengatakan, “Pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa ditakar dan ditimbang. Mereka benar-benar akan mendapatkan ketinggian derajat.”[6]

Hadits

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنْ الصَّبْرِ


“Dan tidak ada seorang pun yang dianugerahi sesuatu yang lebih baik melebihi kesabaran." (HR. Bukhari)

وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ

“Kesabaran itu adalah cahaya.” (HR. Ahmad)

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Ketahuilah bahwasannya kemenangan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar itu bersama kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan ada kemudahan”. (HR. Tirmidzi)

Diantara Maqalah ulama

Berkata sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu :

 

الصَّبْرُ مِنَ الإِيمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ، فَإِذَا ذَهَبَ الصَّبْرُ ذَهَبَ الإِيمَانُ

“Sabar bagi keimanan laksana kepala bagi tubuh. Apabila kesabaran telah lenyap maka lenyap pulalah keimanan.”[7]   

            Berkata al imam Syafi’i rahimahullah :

صَبرا جَميلا ما أقرَبَ الفَرجا

“Bersabarlah dengan sebaik-baiknya sabar, dan (engkau akan terkejut) betapa dekatnya jalan keluar.”[8]

Pembagian sabar.

Para ulama membagi tingkatan sabar menjadi tiga bagian. Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan dan sabar dalam mengerjakan ketaatan. Berkata Hujjatul Islam al imam Ghazali rahimahullah :

والصبر على أوجه : صبر على طاعة الله وصبر عن محارمه وصبر على المصيبة

Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah,  (3) sabar dalam menerima musibah.[9]

Adapun dalil tentang sabar dalam ta’at dan sabar meninggalkan maksiat diantaranya adalah :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah atasnya.” (QS. Thaha : 132)

            Sedangkan sabar dalam musibah adalah :

 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah : 155)

 Dan secara umum, sabar dalam mentaati Allah dan menjauhi maksiat tingkatannya lebih tinggi dari sabar ketika menghadapi musibah. Berkata al imam Qurthubi rahimahullah :

والصبر على طاعة الله عز وجل وعن محارم الله تعالى ‌أفضل ‌من ‌الصبر ‌على ‌المصائب

“Sabar dalam ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan sabar menahan diri dari yang diharamkan oleh Allah adalah lebih utama dari sabar dalam menghadapi musibah.”[10]

 Hal ini karena sabar dalam musibah sifatnya harus diterima. Seseorang yang sednag menghadapinya tidak punya pilihan kecuali harus bersabar. Jika ia mau bersabar maka akan diberikan pahala, jika tidak sabar ia tidak memperoleh apa-apa bahkan bisa jatuh ke dalam dosa.

Sedangkan sabar dalam ta’at dan menjauhi maksiat sifatnya pilihan, terkhusus jika itu dalam rupa ibadah sunnah. Seseorang bisa memilih bersabar melawan kantuk dan dinginnya malam untuk shalat malam, atau ia meninggalkannya.[11]

Hukum Sabar

Sabar memiliki hukum yang berbeda sesuai dengan keadaan yang menuntut seorang mukmin untuk menyikapinya dengan kesabaran. Ada yang wajib ada pula yang sunnah. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

الصبر واجبا باتفاق المسلمين على أداء الواجبات وترك المحظورات ويدخل في ذلك الصبر على المصائب عن أن يجزع فيها.

“Sabar itu hukumnya wajib dengan kesepakatan kaum muslimin bila untuk menunaikan kewajiban dan meninggalkan kemaksiatan. Demikian juga sabar terhadap musibah-musibah yang menimpa.”[12]

1.     Sabar dalam Ta’at

Sabar dalam keta’atan hukumnya wajib bila itu berkaitan dengan kewajiban agama. Seperti sabar dalam menunaikan shalat lima waktu. Sabar menahan lapar dan dahga saat menunaikan puasa Ramadhan dan semisalnya. Seseorang yang tidak mau bersabar dalam kewajiban, alias meninggalkannya tentu saja hukumnya haram.

Sedangkan sabar dalam ketaatan yang sifatnya ibadah sunnah hukumnya juga sunnah. Seperti sabar dalam istiqamah menjaga shalat malam, dzikir dan puasa sunnah. Jika ia teguh, ia diberi pahala jika ia tak mampu dia bisa meninggalkannya dan tidak berdosa.

2.     Sabar dalam menghadapi maksiat

Demikian juga di bagian yang kedu ini, ada sabar yang wajib ada juga yang sunnah. Yang wajib adalah kesabaran untuk meninggalkan yang diharamkan seperti judi, minum minuman keras, berzina dan yang semisalnya. Sedangkan sabar yang sunnah adalah teguh dan sabar dalam meninggalkan hal yang dimakruhkan.

3.     Sabar dalam musibah

Sedangkan sabar dalam musibah hukumnya adalah wajib, yakni dalam bentuk ia tidak mengeluh dan tidak marah kepada ketentuan Allah. Adapun tangisan dan rasa sedih dan rasa sakit di dalam hati bukanlah ukuran seseorang sabar atau tidak sabar. Seseorang yang menangis dan sedih ketika tertimpa musibah masih termasuk bersabar jika hatinya tetap ridha kepada keputusan Allah dan berserah diri kepadaNya.[13]

 

Bersambung ke bab II : Syukur



[1] Tafsir Thabari (18/578)

[2] Fath al Bari (11/303)

[3] Umdatul Qari ( 25/85)

[4] Tafsir Raghib al Asfahani ( (1/177)

[5] Tafsir Jalalain (1/22).

[6] Tafsir al Qur’an al‘Azhim (6/443)

[7] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 31097

[8] Tafsir Ibnu Katsir (8/418)

[9] Al Mukasyafah al Qulub hal. 19

[10] Hidayah ila Bulugh an Nihayah (1/881)

[11] Jami’ Masail (8/228)

[12] Majmu’ Fatawa (10/39)

[13] Fath Mu’in ‘ala Syarh Muslim (4/202)