UJIAN BERAT YANG MENIMPA IMAM AHMAD
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Sudah menjadi
sunnatullah bagi siapapun yang menempuh jalan dakwah dan yang memilih hidup sebagai
pewaris perjuangan para nabi, bahwa mereka akan berhadapan dengan terjalnya
ujian dan beratnya badai fitnah yang menghantam.
Tak terkecuali
dengan yang dialami oleh al imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Sejarah
kehidupan beliau tercatat penuh dengan ujian yang sangat berat, yang kiranya
bahkan, tak sembarang ulama mampu memikul atau menghadapi seperti apa yang
pernah beliau hadapi.
قد تداول الإمام أحمد أربع خلفاء, بعضهم بالتهديد والوعيد وبعضهم بالضرب
والحبس وبعضهم بالنفي والتشريد وبعضهم بالترغيب في الرياسة و المال, ولا يزداد
الإمام الا ثقة و إيمانا ويقينا
Imam Ahmad telah melewati pergantian empat orang khalifah, di antara mereka
ada yang melakukan intimidasi dan ancaman, ada yang mencambuk dan memenjara,
ada yang menolak dan mengusirnya, ada pula yang merayunya dengan jabatan.
Namun, tidaklah menambah apa-apa bagi Imam Ahmad kecuali kepercayaan, keimanan,
dan keyakinan.”
Imam Ahmad hidup di era kekhalifahan Abasiyah, tepatnya di masa
pemerintahan al Makmun, al Mu’tashim, al Watsiq dan al Mutawakil. Ke empat
khalifah ini semuanya menjadi ujian berat bagi sang imam. Tiga darinya menekan dan menyiksanya, adapun
yang satunya sebaliknya, karena cinta dan kagumnya kepada sang imam, berusaha membujuk
dan menawari beliau dunia dengan segala kesenangannya.
Namun karena keteguhan iman dan kesabaran imam Ahmad menjadikan beliau bisa
melalui semua ujian itu. Tak sedikitpun beliau goyah apalagi sampai menyerah. Beliau
lalui semuanya hingga akhir hayatnya dengan teguh dan istiqamah.
Fitnah Qur’an makhluk
Berawal di masa al Makmun lalu terus berlangsung hingga dua khalifah
penggantinya, tokoh pemerintahan termasuk khalifahnya terjangkiti virus
pemahaman dari sekte mu’tazilah. Dimana kelompok ini berpaham bahwa Qur’an yang
sifatnya qadim, mereka yakini sifatnya baharu atau makhluk.
Berkata al imam Baihaqi rahimahullah :
ولم يكن في الخلفاء قبله من بنى أمية وبنى العباس خليفة الأعلى مذهب السلف ومنهاجهم
“Belum pernah terjadi sebelumnya adanya pemahaman seperti ini baik di masa Umawiyah
ataupun Abasiyah, karena para khalifah semuanya berpegang kepada madzhab salaf.”
Tentu demikian menyimpang dan sangat berbahaya ini ditentang oleh para
ulama kala itu. Sebab, meyakini Qur’an sebagai makhluk, berarti bisa saja isi
al Qur’an itu mengandung benar dan salah. Namanya juga makhluk. Dan yang lebih berbahaya lagi, hal ini
membuka potensi anggapan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya juga bisa
diubah diganti atau bahkan diakhiri.
Suara ulama yang kala itu berusaha menyuarakan kebenaran dan melawan
kebatilan mendapatkan tekanan dari penguasa. Aparat mulai turun tangan
memberikan tekanan. Sehingga mulailah korban dari para ahli ilmu
berjatuhan. Banyak dari ulama yang
ditangkap, dijebloskan ke penjara dan menghadapi siksaan yang berat.
Yang tetap bertahan dengan pendiriannya mulai berguguran. Yang tidak tahan
akhirnya terpaksa diam demi menjaga keselamatan diri dan keluarga, dan
sebagiannya lagi memilih hijrah menyingkir ke wilayah-wilayah terpencil
kekhilafahan Islam yang fitnah dalam masalah ini tidak terlalu menjadi isu
besar.
Dan disinilah sang imam menunjukkan ketegarannya. Beliau ditangkap dan
dipenjara serta menghadapi berbagai macam tribulasi sepanjang pemerintahan tiga
penguasa kala itu, al Makmun, al Mu’tashim dan al Watsiq.
Salah satu fitnah terbesar
Fitnah Qur’an makhluk ini disepakati oleh para ulama sebagai salah satu
fitnah terbesar yang melanda kaum muslimin sepanjang sejarah. Sebabnya karena
ia berkaitan dengan penyimpangan aqidah. Jadi bukan sekedar masalah fiqih
apalagi hanya mu’amalah. Sebab selanjutnya adalah karena kesesatan ini
mendapatkan sokongan dari para khalifah yang teracuni oleh paham sesat ini.
Sehingga kemudian penguasa yang punya kekuatan untuk memaksa, memberikan
tekanan bukan hanya kepada satu dua ulama, tetapi semua ulama ahlussunnah saat
itu.
Berkata al imam Ibnu Katsir rahimahullah ta’la :
في أيام المأمون ثم المعتصم ثم الواثق بسبب القرآن العظيم وما أصابه
من الحبس الطويل والضرب الشديد والتهديد بالقتل بسوء العذاب وأليم العقاب، وقلة مبالاته
بما كان منهم في ذلك إليه وصبره عليه وتمسكه بما كان عليه من الدين القويم والصراط
المستقيم
“Imam
Ahmad bin Hanbal terus mengalami ujian selama tiga rezim berturut-turut, yaitu
masa Khalifah al Ma’mun, al Mu’tashim, dan Khalifah al Watsiq karena membela al
Qur’an. Selama itu pula, ia dijebloskan ke penjara dalam waktu yang cukup lama,
mendapat siksaan yang berat, bahkan diancam untuk dibunuh. Namun, semuanya
beliau jalani dengan sabar dan tetap berpegang teguh kepada tuntunan agama dan
jalan yang lurus.”
Berikut adalah ringkasan fitnah besar yang beliau alami saat itu :
1. Beliau dimasa al Makmun
Al Makmun sebagai khalifah pertama yang tepengaruh oleh pemahaman
menyimpang ini awal mulanya menjadikan tokoh-tokoh mu’tazilah sebagai pemangku
jabatan mufti dan qadhi pemerintahan. Lalu ia berkeinginan menjadikan pemikiran
Mu’tazilahlah sebagai madzhab resmi negara, yang tentu kemudian ditentang oleh
para ulama yang ada saat itu.
Maka tokoh dan ulama mu’tazilah, Ahmad bin Abi Duad mulai mempengaruhinya
untuk mengambil tindakan tegas kepada para ulama yang dianggap membangkang itu.
Maka negara pun mulai menekan para ulama. Dan puncaknya terjadi pada tahun 281
H dimana seluruh ulama-ulama besar dikumpulkan lalu diuji apakah mau mengakui
Qur’an sebagai makhluk ataukah tidak. Yang mau mengakui akan dibebaskan.
Tapi bagi yang bersikukuh tidak mau mengakui, maka akan dicabut tunjangan,
gaji dan berbagai fasilitas yang kala itu diberikan oleh negara kepada para
ulama. Dan bahkan tak sedikit yang langsung ditangkap dan dimasukkan ke
penjara.
Dihadapkan kepada kepala kepolisan
Imam Ahmad dan beberapa ulama yang telah ditangkap dibawa menghadap kepada
kepala keamanan negara kala itu, Ishaq bin Ibrahim. Terjadi pembicaraan yang
sengit. Imam Ahmad menjawab dan mendebat setiap ucapan dari aparat negara
dengan sangat telak. Beliau yang selama ini dikenal lemah lembut berubah
menjadi seperti seekor singa yang mengaum, suaranya keras dan wajahnya memerah.
Karena tak mampu menghadapi hujjah sang imam dan juga adanya gejolak
tekanan dari masyarakat, imam Ahmad kala itu akhirnya dilepaskan. ‘
Ujian gelombang kedua
Saat imam Ahmad rahimahullah dan beberapa ulama dibebaskan, al Makmun
sedang berjihad di sebuah wilayah yang bernama Thurtus, yakni yang berbatasan
dengan Bizantium Romawi. Ketika dia mengetahui bahwa sang imam dan beberapa ulama
yang menolak Qur’an makhluk dilepaskan begitu saja, ia pun marah besar.
Al Makmun memerintahkan agar seluruh ulama dikumpulkan lagi dan dilakukan
pengujian untuk kedua kali terkait keyakinan Qur’an makhluk. Sanksi yang
dijatuhkan kali ini jauh lebih berat lagi bagi siapapun yang menolak. Dan
sejarah kemudian mencatat, hanya empat ulama yang tetap teguh menyatakan secara
terbuka bahwa al Qur’an adalah qadim kalamullah. Mereka adalah : Muhammad bin
Nuh, al Qawaririy, Sajadah dan sang imamusunnah Ahmad bin Hanbal rahimahumullah
ta’ala.
Siksaan berat yang dihadapi
Keempat ulama ini kemudian diisolasi dalam penjara yang pengap. Menghadapi
berbagai macam siksaan fisik dan mental. Hingga setelah berjalannya waktu, dua
dari ulama tersebut yakni al Qawaririy dan Sajadah tak tahan dan terpaksa
mengakui dengan lisannya bahwa Qur’an adalah makhluk. Mereka akhirnya dibebaskan,
tersisalah imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad Nuh dalam penjara tersebut.
Dibawa kepada al Makmun
Khabar bahwa imam Ahmad dan Muhammad Nuh tetap bertahan ini membuat al
Makmun memuncak kemarahannya, bahkan dia sampai bersumpah akan memenggal
sendiri kepala kedua ulama tersebut. Pesan ancaman itu disampaikan kepada sang
imam :
يا أبا عبد الله أن المأمون قد سل سيفا لم يسله قبل ذلك، وأنه يقسم بقرابته من
رسول الله صلى الله عليه وسلم لئن لم تجبه إلى القول بخلق القرآن ليقتلنك بذلك السيف
“Wahai Abu Abdillah (imam Ahmad) sesungguhnya al Makmun telah menghunus
sebuah pedang, dan ia tidak akan pernah menyarungkannya sebelum tujuannya
tercapai. Dia telah bersumpah dengan washilah kekerabatannya dengan Rasulullah,
jika engkau tidak mau mengakui Qur’an sebagai makhluk, dia akan membunuhmu
dengan pedang itu.”
Mendengar itu sang imam sama sekali tidak bergeming, beliau tetap teguh dengan
pendiriannya.
Akhirnya al Makmun memerintahkan agar Imam Ahmad bin Hanbal dan Muhammad
Nuh dikirim dari penjara Baghdad untuk dihadapkan kepadanya yang kala itu masih
berada di daerah Thursus.
Di sinilah terjadi pemandangan yang menakjubkan. Saat beliau dengan temannya
dalam perjalanan sangat jauh itu, setiap masyarakat yang menjumpainya
mengeluk-elukan dan mendoakannya. Bahkan kala itu ada yang berseru kepada sang
imam :
يا أحمد إن
يقتلك الحق مت شهيدًا، وإن عشت عشت حميدًا، وما عليك أن تقتل هاهنا وتدخل الجنة
“Wahai Ahmad, jika engkau terbunuh dalam membela kebenaran, maka matimu
adalah mati syahid. Jika engkau masih bisa hidup, hidupmu akan mulia. Dan
tidaklah engkau dibunuh saat ini juga kecuali engkau akan masuk ke dalam
Syurga.”
Wasiat dari seorang teman
Ketika rombongan pasukan yang membawanya ke Thurtus beristirahat di sebuah
tempat, datanglah teman lama imam Ahmad yang bernama Abu Ja’far, dia diam-diam
mendekatinya dan menyampaikan beberapa nasehat kepada sang imam yang diantara
kalimatnya adalah :
يا هذا أنت
اليوم رأس، والناس يقتدون بك، فوالله لئن أجبت إلى خلق القرآن ليجيبن خلق، وإن أنت
لم تجب ليمتنعن خلق من الناس كثير، ومع هذا فإن الرجل إن لم يقتلك فإنك تموت، لابد
من الموت، فاتق الله ولا تجب!
“Engkau hari ini menjadi kepala bagi umat ini. Orang-orang pasti akan
mengikuti apa yang engkau lakukan. Maka demi Allah, jika engkau menerima
paksaan untuk mengakui al Qur’an adalah makhluk, seluruh makhluk akan mengikuti
apa yang engkau katakan.
Dan jika engkau tetap tidak menerimanya, orang-orang juga akan mengikutimu
dalam jumlah yang banyak. Dan engkau harus ingat, jika engkau tidak jadi
dibunuh oleh laki-laki itu, engkau juga bakal akan mati. Kapanpun engkau pasti
mati. Maka bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau penuhi permintaan mereka !”
Mendengar ini imam Ahmad menangis, dia pun meminta agar Abu Ja’far
mengulangi nasehat itu. Abu Ja’far kembali mengulang kata-katanya. Dan imam
Ahmad kembali menangis seraya berkata : Masyaallah, masyaallah.
Doanya diijabah
Ketika perjalanan tersebut, imam Ahmad memperbanyak shalat, dzikir dan
berdoa. Dan salah satu doanya adalah beliau memohon kepada Allah, agar ia tidak
dipertemukan dengan al Makmun selama-lamanya.
سيدي غر حلمك هذا الفاجر حتى تجرأ على أوليائك بالضرب والقتل، اللهم فإن يكن القرآن
كلامك غير مخلوق فاكفنا مؤنته
“Wahai Penolongku, Penjahat ini telah tertipu dengan kelembutanMu hingga
berani menyiksa dan membunuh para ulama. Ya Allah, jika Qur’an itu memang benar
ucapanMu bukan makhluk, maka sudahi kami dari bencana yang ditimbulkannya.”
Dan Allah pun menjawab dengan kontan doa beliau tersebut. Di suatu malam al
Makmun tiba-tiba menghadapi sekarat dan wafat di malam itu juga tanpa
sebelumnya mengalami sakit atau hal apapun. Akhirnya, beliau dan Muhammad Nuh
dikembalikan lagi ke Baghdad dengan selamat.
2. Beliau di masa al Mu’tashim
Setelah kematian al Makmun dan naik tahtanya al Mu’tashim, imam Ahmad tetap
mendekam di penjara. Keadaan bahkan kian memburuk bagi beliau ketika sahabat
senasib sepenanggungan yakni Muhammad Nuh wafat di dalam penjara. Dan di fase
ini beliau bukan hanya diuji dengan dinginnya ruangan penjara, namun juga
dibelenggu kedua tangan dan juga kakinya.
Sang imam tinggal di penjara yang pengap dan gelap. Kesehatannya kian memburuk, hingga kemudian karena desakan
masyarakat, beliau dipindahkan ke penjara yang lebih layak, di sini beliau tinggal
selama kurang lebih 30 bulan.
Dipojokkan terus menerus
Di fase selanjutnya ini beliau mulai didatangi tokoh-tokoh Mu’tazilah dan
diajak berdebat. Bahkan salah satu debat diadakan di istana di hadapan Khalifah
al Mu’tashim. Insyallah mengenai perdebatan ini akan kami tulis di bab
tersendiri. Karena diskusinya lumayan panjang dan berlangsung selama tiga hari tiga malam.
Disiksa secara fisik
Di malam keempat ketika sang imam tidak bisa juga ditaklukkan padahal dalam
perdebatan tersebut beliau dikeroyok oleh sekian banyak lawan, al Mu’tashim pun
marah dan memerintahkan agar debat ini disudahi. Karena provokasi tokoh-tokoh
mu’tazilah Ia pun memerintahkan agar imam Ahmad dicambuk sekian puluh kali
hingga jatuh pingsan.
Dibebaskan
Setelah perisitiwa ini, sang imam akhirnya dikembalikan kepada keluarganya.
Namun dengan sebuah hal yang cukupn aneh, dimana khalifah al Mu’tashim meminta
kepada keluarganya untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa sang imam dalam
kondisi sehat. Mu’tashim melakukan ini karena khawatir atas revolusi yang bisa
saja terjadi karena kemarahan rakyat.
Imam Ahmad memaafkan Mu’tashim
Dan sebuah bukti keluhuran sang imam, bahwa beliau menyatakan telah
memaafkan perbuatan Mu’tashim yang telah memukulinya di malam perdebatan itu.
Ketika ditanya sebabnya, sang imam menjelaskan kalau Mu’tashim melakukan itu
bukan karena membela Mu’tazilah dengan pemikiran sesatnya, tapi karena ia terus
dipengaruhi dan disulut kemarahannya oleh orang-orang yang ada disekitarnya.
Hingga karena doa dari sang imam juga, al Mu’tashim bisa membuka Amuriyah dalam
kisah yang terkenal itu pada tahun 223 H, yakni saat sang khalifah bergerak
membebaskan seorang muslimah yang ditawan oleh tentara Romawi di sana.
3. Beliau di masa al Watsiq
Seteleh berada di rumah dengan dirawat sekian lama akhirnya kesehatan sang
imam berangsur pulih. Beliaupun sudah mulai bisa mengajar dan memberi fatwa di
masjid. Saat itu wafatlah al Mu’tashim dan digantikan oleh anaknya Watsiq yang
merupakan anak didik dari Ahmad bin abu Duad, pentolan Mu’tazilah yang sangat
jahat dan teramat memusuhi imam Ahmad.
Watsiq melakukan hal yang lebih buruk dari apa yang dilakukan oleh al
Makmun karena ia memberi wewenang kepada Ahmad bin Abi Duad sehingga dia
leluasa menyebarkan kebid’ahannya. Bahkan yang membuat masyarakat marah,
beberapa tawanan kaum muslimin yang ada di penjara musuh baru akan dibebaskan
dan ditebus jika mau mengakui Qur’an makhluk, jika tidak akan dibiarkan tetap
ditawan musuh.
Al Watsiq bahkan membunuh beberapa ulama diantaranya syaikh Ahmad bin Nashr
Al Khuza’i dan menjebloskan ke tahanan beberapa ulama lainnya.
Kondisi semakin memburuk. Kelompok Mu’tazilah semakin berani bertingkah
karena merasa di atas angin karena sokongan penuh negara. Akibatnya beberapa
kelompok masyarakat mulai merencanakan pemberontakan. Diantara mereka meminta fatwa dari sang imam.
Namun imam Ahmad bin Hanbal berfatwa agar masyarakat tetap bersabar, karena
beliau menimbang kerusakan dan kehancuran akan lebih besar bila sampai terjadi
pertumpahan darah diantara kaum muslimin.
Pengusiran imam Ahmad
Karena kebenciannya yang memuncak kepada imam Ahmad, al Watsiq kemudian
mengirim surat kepada sang imam yang diantara isinya adalah :
لا يجتمعن إليك أحد، ولا تساكنى بأرض، ولا مدينة
أنا فيها.
Karena hal ini imam Ahmad kemudian meninggalkan rumahnya
dan hidup bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain di rumah murid-muridnya.
Beliau tidak bisa keluar dari rumah bahkan sekedar untuk menghadiri shalat
berjama’ah. Kondisi ini berlangsung hingga wafatnya al Watsiq pada tahun 231 H.
Imam Abu Hatim pernah bertanya kepada Imam Ahmad
bin Hanbal rahasia kesabaran dan bagaimana dia bisa melalui ujian yang sangat
berat ini.
كيف نجوت من سيف الواثق؟ وعصا المعتصم؟
“Bagaimana engkau bisa selamat dari pedangnya al Watsiq
dan cambuknya al Mu’tashim ?
Beliau menjawab :
يا أبا حاتم، لو وضع الصدق على جرح برأ
“Wahai Abu Hatim, seandainya kejujuran itu
diletakkan di atas luka sekalipun, maka ia akan langsung sembuh.”
4. Beliau di masa al Mutawakil
Setelah kematian al Watsiq, yang naik
menjadi khalifah selanjutnya adalah seorang yang dikenal shalih dan beraqidah
ahlussunnah wal jama’ah, yakni al Mutawakil billah. Maka berakhirlah babak ujian penderitaan bagi sang imam dan para
ulama berganti dengan ujian kelapangan, kemudahan dan rayuan kesenangan dunia.
Dimasa ini para ulama bukan hanya
mendapat pembebasan tanpa syarat, tapi juga dipersilahkan mendakwahkan ajaran
ahlusunnah dan diberi fasilitas oleh negara. Hak -hak mereka dikembalikan
secara penuh seperti sebelumnya bahkan kini lebih dilipatgandakan.
Mereka yang pernah dipenjara ataupun
sekedar diganggu ketenangannya di masa sebelumnya mendapat permohonan maaf,
kompensasi dan penghormatan secara khusus dari Khalifah. Dan disinilah sang imam memasuki babak ujian
baru dalam kehidupannya. Ujian kesenangan dunia. Bagaiman kisah selanjutnya ?
Nantikan di tulisan selanjutnya insyaallah.....
Bersambung...