Gontor,
rasanya tidak ada orang Islam indonesia yang tidak mengenal nama ini. yang
sebenarnya itu adalah nama tempat, tapi kini lebih dikenal dan identik dengan nama
sebuah pesantren besar di Indonesia.
Saya secara pribadi sangat mengagumi
para tokoh pendiri pesantren modern Gontor, KH. Ahmad Sahal (1901–1977), KH. Zainudin
Fananie (1908–1967), KH. Imam
Zarkasyi (1910–1985).
Dan dibalik kesuksesan
beliau-beliau dalam memperjuangkan pesantren hingga menjadi besar seperti hari
ini, telah melewati ujian berat dan tantangan yang berlapis-lapis. Itulah yang
tidak banyak diketahui orang dari Pesantren Gontor. Terpesona dengan megahnya
keberhasilan hari ini dan melupakan pengalaman berharga yang menjadi benih pohon
kesuksesannya.
Hari ini, ada santri dan santriwati Gontor
yang berkunjung ke Subulana, ngobrol ngalur ngidul kemudian kami sampai ke
kisah Persemar Gontor. Tertunduk kami membaca istighfar mengenangnya. Ada yang
tahu apa itu Persemar ?
Peristiwa
Persemar adalah masa tribulasi berat yang menguji Gontor khususnya bagi Trimurti.
Yang sampai hari ini diperingati tiap tahunnya di pesantren Gontor, agar
sejarah ‘kelam’ ini bisa diambil hikmah dan ibrahnya dan tidak terulang lagi. Mari
kita simak kisah sejarah ini, sepintas saja semoga antum bersabar membaca dari
awal sampai akhir.
PERSEMAR
Ini adalah
kisah kelam yang dialami oleh Gontor hampir lima puluh tahun lalu, tepatnya di
tahun 1967. Benih masalahnya sebenarnya sudah mulai ada sejak tahuan
1962-an. Jadi, bisa dikatakan Gontor
khususnya Trimurti menghadapi ujian itu hampir selama 5 tahun.
Bisa dikatakan
benih dari peristiwa terkutuk itu adalah pemikiran. Ya pemikiran, diantaranya masuknya
ide-ide sosialis ke kepala kalangan intelek pesantren. Ide persamaan , menuntut
keadilan dan seabrek unek-unek hawa nafsu yang berbungkus pembaharuan
disuarakan. Suara-suara itu secara garis besar
adalah :
1.
Ketidakpuasan dari beberapa
oknum atas menu makanan dan pelayanan di pesantren.
2.
Tuduhan korupsi yang
ternyata tidak terbukti kepada beberapa pengurus Pesantren.
3.
Menyangsikan keilmuan dan
kredibilitas Kiyai.
Beberapa peristiwa yang terjadi :
Tahun 1962 -1964 beberapa anak
santri yang menamakan ‘ Sawadzul a’dzam’ sering melakukan sweping kepada
pengurus pesantren sampai bagian yang mengurusi dapur untuk mencari bukti
penyelewengan pesantren.
Masih dikisaran tahun yang sama
muncul seseorang yang disebut “kiyai kecil”. Ia adalah seorang oknum ustadz
yang dipandang karena selain dapat mengatur santri dengan baik, tingkat
intelektualitasnya juga tinggi. Ia menghasut dan mengklaim bahwa para Kiyai
Gontor tidak memiliki kelimuan yang cukup dan tidak sah kepemimpinannya.
1965-an Permasalahan semakin
menyeruak, melahirkan forum perkumpulan dan mahkamah ilegal. Diantaranya adalah
perkumpulan-perkumpulan konsulat diluar waktu biasanya. Selain itu perkumpulan
firqah dan su’bah, juga perkumpulan para mudabbir di rayon-rayon. Adalagi perkumpulan
yang biasa disebut bani-bani. Ada bani Sahir, bani Tohir, dsb. Dari bani-bani
tersebutlah, racun-racun masuk, utamanya dari masyarakat kampung sekitar yang
tidak begitu senang dengan keberadaan pondok. Masalah diperparah dengan adanya
ustadz yang terkotak-kotak dengan mazhab dan aliran. Tidak jarang Qunut shubuh
menjadi sebab perkelahian antar santri.
Di tahuns elanjutnya (ada yang
menyebut di 1963) Terjadi peristiwa Gerageh. Sekelompok santri kelas 5 yang
merasa diperlakukan tidak adil kabur dari pondok. Mereka kemudian mendirikan
tenda-tenda perkemahan di daerah yang bernama Gerageh yaitu suatu daerah dengan
tanah lapang di sekitar Siman sekarang. Disana mereka melakukan semacam
demonstrasi. Mereka berteriak-teriak menuntut apa yang mereka inginkan.
Peristiwa ini berlangsung selama tiga hari dan tanpa hasil.
Tahun 1967, dengan dimotori oleh
sejumlah oknum ustadz beserta santri kelas 5 yang menjadi mudabir alias
pengurus di berbagai organisasi santri baik rayon, konsulat, maupun firqoh,
gerakan dimulai. Selain isu-isu yang sudah disebutkan di muka, isu utama
selainnya ialah penyampaian mosi tidak percaya kepada Pak Zar dan Pak Sahal. Sebulan
sebelum puncak PERSEMAR yaitu di bulan Juli tahun 1967, Ustadz Zainuddin
Fannani meninggal dunia. Ada yang mengatakan bahwa salah satu penyebabnya ialah
kondisi tertekan memperburuk kesehatan beliau.
Puncaknya, terjadilah huru-hara
di Pesantren, kasur-kasur dikeluarkan dari kamar kemudian di tumpuk di tengah
lapangan. Begitu pula barang-barang lain tak terkecuali buku, kesemuanya
dibakar. tak lepas dari itu, terjadi pembakaran pula terhadap sejumlah arsip
pondok. Mereka berteriak-teriak menyuarakan tuntutan sumpah serapah
mencaci-maki para Kiyai. Tidak selesai sampai disitu, penjaran terhadap aset
pesantren terjadi, seperti disembelihnya hewan peliharaan lurah pondok kala
itu.
Masalah
makin melebar dan liar. Pemerintah sempat hendak turun tangan dengan
menerjunkan satu pasukan infantri khusus untuk mengamankan keadaan Gontor yang
semakin tidak terkendali. Pemerintah juga mengkhawatirkan keselamatan pengurus
pondok khususnya Kiyai-kiyainya. Namun, pimpinan pondok menolak mentah-mentah
bantuan dari dinas militer tersebut. Beliau tetap teguh memegang prinsip bahwa
hal tersebut masih merupakan urusan internal pondok, pihak eksternal tidak diperkenankan
mengintervensi.
Kesekian
kalinya permasalahan dicoba untuk dipecahkan. Setelah melalui diskusi,
musyawarah, mediasi dan serangkaian perjuangan panjang, masalah mulai
menampakkan titik terang. Yang ditunjuk sebagai pengemban ‘Persemar’ adalahAl-Ustadz
Abdullah Mahmud. Beliau lalu turun berkomunikasi dengan seluruh pihak terkait.
Dengan cepat, beliau memanggil ketua-ketua rayon, konsulat, ketua-ketua firqoh
dan lain sebagainya. Setelah itu beliau mendatangi pihak-pihak yang turut
memperkeruh suasana termasuk warga dan para tetangga.
Hasil
diskusi kala itu ditampung oleh ustadz Abdullah, beliau menerima semua saran
masuk mulai yang remeh temeh seperti tuntutan lauk makanan sampai tuntutan agar
Kiyai mundur.
Setelah
serangkaian diskusi panjang dan bertawaka kepadaNya, keesokan harinya pimpinan
mengumumkan libur panjang bagi seluruh santri tidak terkecuali. Mereka dipersilahkan
pulang ke kampung halaman masing-masing, dan tidak boleh ada yang kembali
sampai menerima surat panggilan.
Beberapa
bulan kemudian pasca hari itu Gontor lenggang. Pondok seperti kota mati.
Setelah
dirasa kondisi sudah memungkinkan, pimpinan kemudian mensurati santri-santri
yang masih ‘setia’ dan belum terjangkiti virus pemikiran berbahaya. Dari ribuan
santri hanya sekitar 300 an saja yang diundang kembali ke pondok. Setelah itu,
Gontorpun kembali berjalan tertatih. Memanglah pada awalnya amatlah sulit untuk
membangun kembali. Satu demi satu bata disusun kembali. Melelahkan. Namun,
tidak lama setelahnya, Gontor berlari jauh lebih cepat dari sebelumnya.
Pencapaian demi pencapaian diraih. Santri yang hilang, kembali bahkan membludak
hingga kini.