Friday 3 June 2016

GONTOR DIBESARKAN OLEH BESARNYA UJIAN




Gontor, rasanya tidak ada orang Islam indonesia yang tidak mengenal nama ini. yang sebenarnya itu adalah nama tempat, tapi kini lebih dikenal dan identik dengan nama sebuah pesantren besar di Indonesia.
Saya secara pribadi sangat mengagumi para tokoh pendiri pesantren modern Gontor, KH. Ahmad Sahal (19011977), KH. Zainudin Fananie (19081967), KH. Imam Zarkasyi (19101985).
Dan dibalik kesuksesan beliau-beliau dalam memperjuangkan pesantren hingga menjadi besar seperti hari ini, telah melewati ujian berat dan tantangan yang berlapis-lapis. Itulah yang tidak banyak diketahui orang dari Pesantren Gontor. Terpesona dengan megahnya keberhasilan hari ini dan melupakan pengalaman berharga yang menjadi benih pohon kesuksesannya.
 Hari ini, ada santri dan santriwati Gontor yang berkunjung ke Subulana, ngobrol ngalur ngidul kemudian kami sampai ke kisah Persemar Gontor. Tertunduk kami membaca istighfar mengenangnya. Ada yang tahu apa itu Persemar ?
Peristiwa Persemar adalah masa tribulasi berat yang menguji Gontor khususnya bagi Trimurti. Yang sampai hari ini diperingati tiap tahunnya di pesantren Gontor, agar sejarah ‘kelam’ ini bisa diambil hikmah dan ibrahnya dan tidak terulang lagi. Mari kita simak kisah sejarah ini, sepintas saja semoga antum bersabar membaca dari awal sampai akhir.
PERSEMAR
Ini adalah kisah kelam yang dialami oleh Gontor hampir lima puluh tahun lalu, tepatnya di tahun 1967. Benih masalahnya sebenarnya sudah mulai ada sejak tahuan 1962-an.  Jadi, bisa dikatakan Gontor khususnya Trimurti menghadapi ujian itu hampir selama 5 tahun.
Bisa dikatakan benih dari peristiwa terkutuk itu adalah pemikiran. Ya pemikiran, diantaranya masuknya ide-ide sosialis ke kepala kalangan intelek pesantren. Ide persamaan , menuntut keadilan dan seabrek unek-unek hawa nafsu yang berbungkus pembaharuan disuarakan. Suara-suara itu secara garis besar  adalah :
1.      Ketidakpuasan dari beberapa oknum atas menu makanan dan pelayanan di pesantren.
2.      Tuduhan korupsi yang ternyata tidak terbukti kepada beberapa pengurus Pesantren.
3.      Menyangsikan keilmuan dan kredibilitas Kiyai.

Beberapa peristiwa yang terjadi :
Tahun 1962 -1964 beberapa anak santri yang menamakan ‘ Sawadzul a’dzam’ sering melakukan sweping kepada pengurus pesantren sampai bagian yang mengurusi dapur untuk mencari bukti penyelewengan pesantren.

Masih dikisaran tahun yang sama muncul seseorang yang disebut “kiyai kecil”. Ia adalah seorang oknum ustadz yang dipandang karena selain dapat mengatur santri dengan baik, tingkat intelektualitasnya juga tinggi. Ia menghasut dan mengklaim bahwa para Kiyai Gontor tidak memiliki kelimuan yang cukup dan tidak sah kepemimpinannya.

1965-an Permasalahan semakin menyeruak, melahirkan forum perkumpulan dan mahkamah ilegal. Diantaranya adalah perkumpulan-perkumpulan konsulat diluar waktu biasanya. Selain itu perkumpulan firqah dan su’bah, juga perkumpulan para mudabbir di rayon-rayon. Adalagi perkumpulan yang biasa disebut bani-bani. Ada bani Sahir, bani Tohir, dsb. Dari bani-bani tersebutlah, racun-racun masuk, utamanya dari masyarakat kampung sekitar yang tidak begitu senang dengan keberadaan pondok. Masalah diperparah dengan adanya ustadz yang terkotak-kotak dengan mazhab dan aliran. Tidak jarang Qunut shubuh menjadi sebab perkelahian antar santri.
Di tahuns elanjutnya (ada yang menyebut di 1963) Terjadi peristiwa Gerageh. Sekelompok santri kelas 5 yang merasa diperlakukan tidak adil kabur dari pondok. Mereka kemudian mendirikan tenda-tenda perkemahan di daerah yang bernama Gerageh yaitu suatu daerah dengan tanah lapang di sekitar Siman sekarang. Disana mereka melakukan semacam demonstrasi. Mereka berteriak-teriak menuntut apa yang mereka inginkan. Peristiwa ini berlangsung selama tiga hari dan tanpa hasil.

Tahun 1967, dengan dimotori oleh sejumlah oknum ustadz beserta santri kelas 5 yang menjadi mudabir alias pengurus di berbagai organisasi santri baik rayon, konsulat, maupun firqoh, gerakan dimulai. Selain isu-isu yang sudah disebutkan di muka, isu utama selainnya ialah penyampaian mosi tidak percaya kepada Pak Zar dan Pak Sahal. Sebulan sebelum puncak PERSEMAR yaitu di bulan Juli tahun 1967, Ustadz Zainuddin Fannani meninggal dunia. Ada yang mengatakan bahwa salah satu penyebabnya ialah kondisi tertekan memperburuk kesehatan beliau.

Puncaknya, terjadilah huru-hara di Pesantren, kasur-kasur dikeluarkan dari kamar kemudian di tumpuk di tengah lapangan. Begitu pula barang-barang lain tak terkecuali buku, kesemuanya dibakar. tak lepas dari itu, terjadi pembakaran pula terhadap sejumlah arsip pondok. Mereka berteriak-teriak menyuarakan tuntutan sumpah serapah mencaci-maki para Kiyai. Tidak selesai sampai disitu, penjaran terhadap aset pesantren terjadi, seperti disembelihnya hewan peliharaan lurah pondok kala itu.
            Masalah makin melebar dan liar. Pemerintah sempat hendak turun tangan dengan menerjunkan satu pasukan infantri khusus untuk mengamankan keadaan Gontor yang semakin tidak terkendali. Pemerintah juga mengkhawatirkan keselamatan pengurus pondok khususnya Kiyai-kiyainya. Namun, pimpinan pondok menolak mentah-mentah bantuan dari dinas militer tersebut. Beliau tetap teguh memegang prinsip bahwa hal tersebut masih merupakan urusan internal pondok, pihak eksternal tidak diperkenankan mengintervensi.
            Kesekian kalinya permasalahan dicoba untuk dipecahkan. Setelah melalui diskusi, musyawarah, mediasi dan serangkaian perjuangan panjang, masalah mulai menampakkan titik terang. Yang ditunjuk sebagai pengemban ‘Persemar’ adalahAl-Ustadz Abdullah Mahmud. Beliau lalu turun berkomunikasi dengan seluruh pihak terkait. Dengan cepat, beliau memanggil ketua-ketua rayon, konsulat, ketua-ketua firqoh dan lain sebagainya. Setelah itu beliau mendatangi pihak-pihak yang turut memperkeruh suasana termasuk warga dan para tetangga.
            Hasil diskusi kala itu ditampung oleh ustadz Abdullah, beliau menerima semua saran masuk mulai yang remeh temeh seperti tuntutan lauk makanan sampai tuntutan agar Kiyai mundur.
            Setelah serangkaian diskusi panjang dan bertawaka kepadaNya, keesokan harinya pimpinan mengumumkan libur panjang bagi seluruh santri tidak terkecuali. Mereka dipersilahkan pulang ke kampung halaman masing-masing, dan tidak boleh ada yang kembali sampai menerima surat panggilan.
            Beberapa bulan kemudian pasca hari itu Gontor lenggang. Pondok seperti kota mati.
            Setelah dirasa kondisi sudah memungkinkan, pimpinan kemudian mensurati santri-santri yang masih ‘setia’ dan belum terjangkiti virus pemikiran berbahaya. Dari ribuan santri hanya sekitar 300 an saja yang diundang kembali ke pondok. Setelah itu, Gontorpun kembali berjalan tertatih. Memanglah pada awalnya amatlah sulit untuk membangun kembali. Satu demi satu bata disusun kembali. Melelahkan. Namun, tidak lama setelahnya, Gontor berlari jauh lebih cepat dari sebelumnya. Pencapaian demi pencapaian diraih. Santri yang hilang, kembali bahkan membludak hingga kini.






Wednesday 1 June 2016

BUAH DARI ‘KEKELIRUAN’ GURU



            Hisyam bin Amr  ad Damasyqi adalah guru besar ilmu hadits yang menjadi salah satu dari guru al imam Bukhari.  Ketika masa menuntut ilmu dahulu, untuk membiyayai belajarnya ke Madinah kepada imam Malik bapaknya sampai harus menjual rumah satu-satunya.         
            Ketika awal belajar ia masih kurang adab, suatu hari ia membuat ulah yang membuat imam Malik sangat marah. Sang imam sampai menyuruh asistennya mencambuk ad Damasyqi 15 kali.  Mendapat perlakuan ini Imam Damasyqi sempat dilanda kekecewaan berat kepada gurunya. Sambil menahan sakit ia berkata pada imam Malik : “Wahai guru, engkau telah memukul diriku atas perkara yang tidak sepantasnya mendapat pukulan. Aku tidak halalkan dan akan aku tuntut engkau sampai hari kiamat !”
            Imam Malik terhenyak seraya berkata : “Baiklah saya akui saya salah, apa kafaratnya (penebusnya) yang bisa membuatmu ridha ?” ad Damasyqi sambil tersenyum menjawab “Kafaratnya adalah ajarkan aku 15 hadist.”
            Akhirnya imam Malik mengajarkan 15 hadits kepada muridnya tersebut sebagaimana tuntutannya. Setelah pelajaran usai,  ad Damasyqi berkata :  “Wahai guru, pukullah aku lagi dan aku minta tambahan hadits sebagai gantinya.” Maka imam Malikpun tertawa.

Faidah :
1.      Teladan dari ad Damasyqi dalam menuntut ilmu. Dengan biaya sebuah rumah ia menimba ilmu, lalu ketika diperlakukan tidak adil oleh gurunya ia mampu bersikap gantle, Fair dan menyatakan ketidaksukaannya kepada gurunya secara langsung.

Bandingkan dengan sebagian penuntut ilmu agama dimasa sekarang, yang ilmunya didapatkan dengan murah meriah lalu hanya karena perlakuan yang tidak menyenangkan dari ustadznya lalu dighibah, difitnah dan dikatain macam-macam ; Ustadz seperti apa itu kerjanya marah-marah.

Seharusnya ketika kita diperlakukan tidak adil atau didzalimi oleh guru, dan kita tidak mampu untuk bersabar, maka itu kesempatan kita untuk unjuk gigi menguji siapa guru kita, katakan langsung dengan terus terang,  dan guru yang baik pasti akan mudah rujuk kepada kebenaran.

2.       Teladan dari imam Malik dalam mengajarkan ilmu. Imam Malik adalah manusia biasa yang bisa keliru. Bisa salah dalam memberi didikan atau ketidaktepatan beliau dalam menghukum dengan berlebihan. Namun begitu mendapat kritik dari muridnya, beliau langsung menyadari kesalahannya. Lalu meminta keridhaan dari anak didiknya. Padahal beliau ulama besar yang memiliki ribuan murid, dan ad Damasyqi saat itu bukan siapa-siapa dan belum jadi apa-apa. Bisa saja imam Malik mengusir ad Damasyqi karena ketidaksopanannya, toh masih banyak orang yang mau berguru kepadanya. Tapi karena tawadhu’nya beliau yang lebih memilih meminta maaf lalu menebus kesalahannya.

3.      Guru yang Ikhlas dan Tawadhu’ bertemu murid-murid yang juga Ikhlas dan Sabar, wajar kalau kemudian dari tangan-tangan generasi ini lahir perkara-perkara besar. Semoga kita bisa meneladi dua imam besar ini, baik sebagai murid dan ketika menjadi guru.

Wallahu a’lam.