Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Nama dan Nasabnya
Terdapat perbedaan pendapat tentang nama Abu Hurairah radhiyallahu’anhu sebelum beliau masuk Islam. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah ‘Abd Syams bin Shakhr, ada pula yang mengatakan ‘Abd ‘Amr bin ‘Abd Ghanm, dan pendapat lainnya. Setelah memeluk Islam, namanya juga diperselisihkan, tetapi yang paling masyhur adalah ‘Abdurrahman bin Shakhr. Diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Nama saya di masa Jahiliah adalah ‘Abd Syams bin Shakhr, lalu Rasulullah ﷺ menamakan saya ‘Abdurrahman.”[1]
Apapun nama aslinya, kunyah (julukan) Abu Hurairah lebih dikenal dan digunakan hingga tidak lagi disebutkan kecuali merujuk kepadanya. Abu Hurairah sendiri menjelaskan asal kunyahnya :“Aku dulu menggembalakan kambing keluargaku, dan aku memiliki anak kucing kecil. Pada malam hari, aku menaruhnya di atas pohon, dan saat siang, aku membawanya bersamaku untuk bermain. Karena itu, mereka memanggilku Abu Hurairah.”[2]
Nasabnya berasal dari suku Daus yang merupakan cabang dari suku Azd di Yaman. Beliau wafat pada tahun 57 H, menurut pendapat lain pada tahun 58 H atau 59 H, dalam usia 78 tahun. Pendapat terakhir dilemahkan oleh imam adz Dzahabi, sementara Ibnu Hajar menguatkan pendapat pertama. Beliau wafat di Madinah Munawwarah, meskipun ada yang menyebutkan di al ‘Aqiq, sekitar sepuluh mil dari Madinah, dan kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah untuk dimakamkan di Baqi’. Di antara yang ikut menyolatkan beliau adalah Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu 'anhuma.[3]
Islam dan Persahabatannya
Sayidina Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun Khaibar, tepatnya di bulan Muharram tahun 7 H, dan beliau ikut serta dalam peristiwa Khaibar bersama Rasulullah ﷺ. Diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib, dari Abu Hurairah, yang berkata: “Kami ikut bersama Rasulullah ﷺ pada hari Khaibar...”[4]
Beliau juga menyaksikan peristiwa-peristiwa lain setelahnya. Dengan demikian, beliau mendapatkan keutamaan berjihad di jalan Allah sekaligus kemuliaan menjadi sahabat Rasulullah ﷺ. Abu Hurairah menyertai Rasulullah ﷺ sejak masuk Islam hingga wafatnya beliau, lebih dari empat tahun. Selama itu, ia secara konsisten mengikuti Rasulullah ﷺ dan belajar dari beliau, dan senantiasa melayani beliau, tanpa terhalang oleh kesibukan dagang, urusan harta, atau pekerjaan lainnya.
Abu Hurairah berkata: “Kalian mengatakan bahwa Abu Hurairah (dirinya sendiri) terlalu banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah ﷺ. Ketahuilah, aku adalah seorang miskin yang selalu menyertai Rasulullah ﷺ hanya demi mengisi perutku. Para Muhajirin sibuk berdagang di pasar, sementara kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Aku hadir di majelis Rasulullah ﷺ dan mendengar sabda beliau: Siapa yang membentangkan selendangnya hingga aku selesai berbicara, lalu menggenggamnya, ia tidak akan melupakan sesuatu pun yang ia dengar dariku. Maka aku bentangkan selendangku hingga beliau selesai berbicara, kemudian aku menggenggamnya. Demi Allah, aku tidak lupa sedikitpun setelah itu.”[5]
Dari pernyataan tersebut, kita dapat memahami bagaimana keberkahan persahabatannya beliau dengan Rasulullah ﷺ. Allah ta’ala mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk menghafal apa yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ dan tidak melupakannya.
Cinta dan Pengabdian kepada Rasulullah ﷺ
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah ﷺ, mempercayakan keadaan dirinya kepada beliau sepenuhnya, dan selalu berusaha mendekatkan diri dengan melakukan apa yang Rasulullah ﷺ sukai. Ia sangat sedih jika Rasulullah ﷺ direndahkan, bahkan oleh orang terdekatnya. Diriwayatkan bahwa ia pernah berkata :
“Aku biasa mengajak ibuku masuk Islam, tetapi ia menolak. Suatu hari aku mengajaknya lagi, tetapi ia mengatakan sesuatu yang tidak kusukai tentang Rasulullah ﷺ. Aku pun mendatangi Rasulullah ﷺ sambil menangis, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku biasa mengajak ibuku kepada Islam, tetapi ia menolak. Hari ini aku mengajaknya lagi, tetapi ia mengatakan hal yang buruk tentangmu. Berdoalah kepada Allah agar memberi hidayah kepada ibunda Abu Hurairah.’ Rasulullah ﷺ kemudian berdoa: Ya Allah, berilah hidayah kepada ibunda Abu Hurairah.”
“Aku pun pulang dengan penuh harap. Ketika sampai di rumah, pintu dalam keadaan tertutup. Aku mendengar suara air dan ibuku berkata: Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah! Aku mendengar ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan kerudungnya. Setelah itu ia membuka pintu dan berkata: Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
“Aku kembali kepada Rasulullah ﷺ sambil menangis karena gembira. Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabar baik! Allah telah mengabulkan doamu dan memberi hidayah kepada ibuku.’ Rasulullah ﷺ memuji Allah dan mengucapkan kebaikan.”[6]
Hadis ini menunjukkan cinta Abu Hurairah kepada Rasulullah ﷺ yang begitu mendalam dan penghargaannya terhadap doa restu dari beliau.
Ilmu dan Keutamaannya
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu adalah salah satu sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Para sahabat lainnya, seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Aisyah, dan Anas bin Malik, juga meriwayatkan darinya. Selain meriwayatkan hadis, banyak sahabat dan tabiin yang meminta fatwa darinya. Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ia sering diberi mandat untuk memberikan fatwa dalam masalah-masalah yang sulit.
Menurut Imam Bukhari, lebih dari 800 orang meriwayatkan hadis darinya. Di antara yang paling banyak meriwayatkan darinya adalah Abu Salamah bin Abdurrahman, Said bin Musayyib, dan lainnya.[7]
Kesalehan dan Ibadahnya
Abu Hurairah dikenal sebagai sosok yang sangat taat dan kuat beribadah. Beliau sering membagi malamnya menjadi tiga bagian: sepertiga untuk shalat, sepertiga untuk membaca al Qur'an, dan sepertiga untuk tidur. Ia juga rajin berpuasa Senin dan Kamis, serta sering mengingatkan umat Islam untuk berlindung dari siksa neraka.
Al imam Ibnu Katsir berkata : “Abu Hurairah berkata: Aku membagi malam menjadi tiga bagian. Sepertiga untuk membaca Al-Qur'an, sepertiga untuk tidur, dan sepertiga untuk mengingat hadis Rasulullah ﷺ.”[8]
Dari Abu Utsman An Nahdi, ia berkata,”Aku pernah bermalam bersama Abu Hurairah selama tujuh hari. Dan menjadi kebiasaan Abu Hurairah, isteri dan pembantunya untuk saling bergantian menjadikan malam tiga bagian.Seorang dari mereka shalat kemudian membangunkan yang lainnya …”[9]
Warisan Ilmu dan Hikmah
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meninggalkan banyak pelajaran berharga melalui hadis yang diriwayatkannya dan nasihat yang diberikannya. Ia adalah teladan dalam kecintaan kepada Rasulullah ﷺ, pengabdian, serta kerendahan hati dan kedermawanan. Semoga Allah meridhai beliau dan menjadikannya teladan bagi kita semua.
[1] Al Mustadrak (3/507) Al Ishabah (4/202).
[2] Sunan at Tirmidzi (5/350), Al Mustadrak (3/506).
[3] Siyar A‘lam al-Nubala’ (2/262), al Ishabah (4/210).
[4] Shahih al Bukhari (5/74).
[5] Shahih al Bukhari (4/247) Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi (16/52)
[6] Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi (16/51-52).
[7] Tahdzib al Kamal (1/1655)
[8] Al Bidayah wa An Nihayah (8/113).
[9] Ibnu Asakir (67/363)
No comments:
Post a Comment