Tawadhu (rendah
hati) adalah lawan dari Kibr (sombong). Dalam Hadits sombong didefinisikan : “Menolak
kebenaran dan meremehkan manusia”, maka ma’fum mukhalafahnya (pemahaman
terbaliknya) yang dimaksud dengan Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan
menghormati manusia.
Makna Tawadhu
yang pertama adalah menerima kebenaran. Seseorang dikatakan Tawadhu bila ia
tunduk dan patuh kepada kebenaran yang datang dari Allah dan RasulNya.
Sekarang ini
sudah semakin sedikit orang yang bisa tawadhu’. Jika tersalah dan diingatkan,
bukannya sadar dan segera kembali kepada kebenaran, tapi malah ngeles dan mencari-cari
pembenaran. Susah sekali menerima koreksi, terlebih yang datangnya dari selain
golongannya atau yang level kelimuan berada dibawahnya.
Marilah kita
belajar sejenak simak dari keteladaaan dari Salaful ummah, bagaimana Tawadhu’nya
hati mereka, begitu tunduk dan mudah rujuk kepada kebenaran. Tidak perduli kebenaran itu dibawakan oleh orang yang
levelnya dibawah mereka.
Abdullah bin Abbas dikoreksi kesalahannya oleh Sa’id al
Khudri dalam masalah Riba Fadhl.
Ibnu 'Abbas,
seorang sahabat nabi yang mulia, penghulunya ahli tafsir, pernah keliru dalam
fatwanya menghalalkan riba fadhl. Lalu
datanglah Abu Sa'id al Khudri dan mengoreksinya dengan membawakan hadits Rasulullaah
yang mengharamkan riba fadhl. Begitu mendengar penyampaian Abu Sa’id, Ibnu
'Abbas langsung meralat fatwanya dan merujuk pada hadits yang disampaikan oleh
abu sa'idtersebut. Beliau kemudian berkata, "Jazaakallaahu abaa sa'iidi
al jannah" (Semoga Allah membalas engkau wahai Abu sa'id dengan
surga).
Lihatlah,
bagaimana Seorang alim terdepan Ibnu Abbas begitu menerima koreksi dari Sa’id
al Khudri radhiyallahu’anhuma yang secara keilmuan tentu jauh dibawah beliau. Dan
yang mengkoreksi bukan ditertawakan, diolok, direndahkan, dibuli atau dicaci,
tapi malah dipuji dan didoa’akan.
Abu Hurairah dan koreksi dari
Aisyah dan Ummu Salamah dalam masalah Junub.
Abu Hurairah
seorang sahabat terkemuka dalam meriwayatkan hadits pernah keliru dalam berfatwa
tentang puasanya orang yang junub dan belum mandi sampai subuh. Menurut beliau
tidak sah. Kemudian datanglah koreksi dari umahatul Mukminin Aisyah dan Ummu
Salamah yang meluruskan fatwa tersebut. Begitu
menerima pesan (koreksi) ini beliau radhiyallahu’anhu berkata, “ Apa benar yang
mengatakan ini Aisyah dan Ummu salamah.” Utusan yang membawa pesan tersbeut
berkata, ‘Iya benar.” Beliau langsung menjawab “Mereka berdua benar dan lebih
tahu dari saya.”
Lihatlah,
bagaimana orang nomor satu dalam hadits dengan mudahnya menerima pelurusan dari
orang-orang yang level haditsnya di bawah beliau. Abu Hurairah tidak ngeles mengatakan
: “Yang ahli hadits itukan saya, saya
juga punya dasar koq.” Tidak, tapi beliau langsung tunduk dan merawat kesalahan
fatwanya.
Sayidina Umar dan wanita tua
dalam masalah mahar
Umar bin
Khattab pernah mau membatasi mahar perkawinan karena banyaknya para pemuda yang
mengeluhkan tingginya mahar kala itu. Diatas mimbar beliau berfatwa, namun
kemudian seorang wanita tua menyanggah fatwa beliau dan mengingatkan bahwa mahar
adalah hak mutlak seorang wanita. Maka Umar berkata, “Wanita ini benar dan
anakanya Khattab salah.”
Lihatlah,
bagaimana seorang khalifah diluruskan oleh bukan saja orang yang tidak punya
jabatan tapi orang yang tidak dikenal dan seorang perempuan. Tapi beliau tidak
menghardik dan mengatakan : “Perempuan
tahu apa, saya khalifah disini !” Tidak, tanpa gengsi sedikitpun beliau mengakui
ketidaktepatan fatwanya dihadapan orang banyak.
Bersambung ...
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment