Wednesday, 4 May 2016

TELADAN KETAWADHU’AN



Tawadhu (rendah hati) adalah lawan dari Kibr (sombong). Dalam Hadits sombong didefinisikan : “Menolak kebenaran dan meremehkan manusia”, maka ma’fum mukhalafahnya (pemahaman terbaliknya) yang dimaksud dengan Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan menghormati manusia.
Makna Tawadhu yang pertama adalah menerima kebenaran. Seseorang dikatakan Tawadhu bila ia tunduk dan patuh kepada kebenaran yang datang dari Allah dan RasulNya.
Sekarang ini sudah semakin sedikit orang yang bisa tawadhu’. Jika tersalah dan diingatkan, bukannya sadar dan segera kembali kepada kebenaran, tapi malah ngeles dan mencari-cari pembenaran. Susah sekali menerima koreksi, terlebih yang datangnya dari selain golongannya atau yang level kelimuan berada dibawahnya.
Marilah kita belajar sejenak simak dari keteladaaan dari Salaful ummah, bagaimana Tawadhu’nya hati mereka, begitu tunduk dan mudah rujuk kepada kebenaran. Tidak perduli  kebenaran itu dibawakan oleh orang yang levelnya dibawah mereka.
Abdullah bin Abbas dikoreksi kesalahannya oleh Sa’id al Khudri dalam masalah Riba Fadhl.
Ibnu 'Abbas, seorang sahabat nabi yang mulia, penghulunya ahli tafsir, pernah keliru dalam fatwanya menghalalkan riba fadhl.  Lalu datanglah Abu Sa'id al Khudri dan mengoreksinya dengan membawakan hadits Rasulullaah yang mengharamkan riba fadhl. Begitu mendengar penyampaian Abu Sa’id, Ibnu 'Abbas langsung meralat fatwanya dan merujuk pada hadits yang disampaikan oleh abu sa'idtersebut. Beliau kemudian berkata, "Jazaakallaahu abaa sa'iidi al jannah" (Semoga Allah membalas engkau wahai Abu sa'id dengan surga).

Lihatlah, bagaimana Seorang alim terdepan Ibnu Abbas begitu menerima koreksi dari Sa’id al Khudri radhiyallahu’anhuma yang secara keilmuan tentu jauh dibawah beliau. Dan yang mengkoreksi bukan ditertawakan, diolok, direndahkan, dibuli atau dicaci, tapi malah dipuji dan didoa’akan.

Abu Hurairah dan koreksi dari Aisyah dan Ummu Salamah dalam masalah Junub.
Abu Hurairah seorang sahabat terkemuka dalam meriwayatkan hadits pernah keliru dalam berfatwa tentang puasanya orang yang junub dan belum mandi sampai subuh. Menurut beliau tidak sah. Kemudian datanglah koreksi dari umahatul Mukminin Aisyah dan Ummu Salamah yang meluruskan fatwa tersebut.  Begitu menerima pesan (koreksi) ini beliau radhiyallahu’anhu berkata, “ Apa benar yang mengatakan ini Aisyah dan Ummu salamah.” Utusan yang membawa pesan tersbeut berkata, ‘Iya benar.” Beliau langsung menjawab “Mereka berdua benar dan lebih tahu dari saya.”

            Lihatlah, bagaimana orang nomor satu dalam hadits dengan mudahnya menerima pelurusan dari orang-orang yang level haditsnya di bawah beliau. Abu Hurairah tidak ngeles mengatakan  : “Yang ahli hadits itukan saya, saya juga punya dasar koq.” Tidak, tapi beliau langsung tunduk dan merawat kesalahan fatwanya.
Sayidina Umar dan wanita tua dalam masalah mahar
Umar bin Khattab pernah mau membatasi mahar perkawinan karena banyaknya para pemuda yang mengeluhkan tingginya mahar kala itu. Diatas mimbar beliau berfatwa, namun kemudian seorang wanita tua menyanggah fatwa beliau dan mengingatkan bahwa mahar adalah hak mutlak seorang wanita. Maka Umar berkata, “Wanita ini benar dan anakanya Khattab salah.”

Lihatlah, bagaimana seorang khalifah diluruskan oleh bukan saja orang yang tidak punya jabatan tapi orang yang tidak dikenal dan seorang perempuan. Tapi beliau tidak menghardik dan mengatakan :  “Perempuan tahu apa, saya khalifah disini !” Tidak, tanpa gengsi sedikitpun beliau mengakui ketidaktepatan fatwanya dihadapan orang banyak.

Bersambung  ...

Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment