Saturday, 18 January 2025

BAGIAN II : MEREKA ADALAH ASY’ARIYAH

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Ditulisan sebelumnya telah kami sebutkan bahwa di antara cara mengetahui madzhab seorang ulama adalah dengan (1) Melihat pengakuannya (2) Melihat pemikiran dan amaliyahnya (3) Kesaksian ulama lain.

Berikut ini adalah contoh dari ulama-ulama kaum muslimin yang disebut sebagai ulama yang bermadzhab Asy’ariyah lewat ketiga cara di atas atau salah satunya. Kita awali dulu di tulisan kali ini dari al imam al Hafidz Abu Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah. Selamat menyimak, semoga bermanfaat :

Al imam Ibnu Katsir rahimahullah

Berikut ini adalah beberapa bukti dan indikasi kuat yang menunjukkan bahwa al imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah termasuk ulama yang bermadzhab Aqidah Asy’ariyah.

Bukti pertama : Pengakuannya

Al Hafizh Ibnu Hajar as Asqalani meriwayatkan dalam biografi Ibrahim bin Ibnu al Qayyim al Jauziyyah rahimahullah, sebagai berikut :

ومن نوادره أنه وقع بينه وبين عماد الدين ابن كثير منازعة في تدريس الناس فقال له ابن كثير : أنت تكرهني لأنني أشعري . فقال له : لو كان من رأسك الى قدمك شعر ما صدقك الناس في قولك أنك أشعري وشيخك ابن تيمية


"Di antara kisah uniknya, pernah terjadi perdebatan antara dia (Ibrahim) dan Imaduddin Ibnu Katsir mengenai mengajar masyarakat. Maka Ibnu Katsir berkata kepadanya, 'Engkau membenciku karena aku seorang Asy'ari ?’ Dia menjawab, 'Seandainya dari ujung kepala hingga kakimu dipenuhi rambut (syu'ur), orang-orang tetap tidak akan mempercayai bahwa engkau seorang Asy'ari, karena gurumu adalah Ibnu Taimiyah !"[1]

Bukti kedua : Mengajar di Darul Hadits as Asyrafiyyah, yang syarat pengajarnya  harus bermadzhab Asy'ari.

Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh al imam Tajuddin as Subki rahimahullah bahwa diantara syarat bagi seseorang untuk bisa diterima mengajar di Darul Hadits al Asyrafiyyah adalah harus bermadzhab Asy’ari dalam aqidah sebagaimana yang telah disyaratkan oleh pewaqafnya. Dan diketahui bahwa al imam Ibnu Katsir memegang jabatan kepala pengajar di madrasah tersebut pada bulan Muharram tahun 772 H.[2]

Mungkin sebagian pihak akan tetap mencari celah dengan mengatakan : Bisa jadi imam Ibnu Katsir dalam hal ini sengaja bertaqiyah. Pura-pura saja mengaku mengikuti Asy’ariyah. Subhanallah, mungkinkah ulama sekelas beliau rela mencari tempat beramal yang bertentangan dengan aqidah dan juga dimungkinkan mendapat rezeki yang tidak halal karena menyelisihi akad ?

Orang seperti kita saja yang cuma begini, diminta mengajar dengan gaji 100 juta perpekan dengan syarat harus mengakui ikut sebuah Aqidah yang sesat katakan harus mengaku Ahmadiyah atau Rafidhah apakah mau ? Kalau saya sih tak sudi ! karena masih banyak cara lain untuk mendapatkan 100 juta tanpa harus menggadaikan Aqidah.

Ketiga : Dalam tafsirnya ada Tafwidh dan juga takwil

Siapapun yang membaca kitab tafsir beliau, pasti akan mengetahui bahwa sang imam ketika menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah ta’ala beliau melakukan Tafwidh dan juga takwil. Meski cara yang pertama adalah yang paling banyak beliau gunakan. Dan dalam madzhab Asy’ariyah  telah diketahui secara pasti bahwa meskipun takwil dibolehkan, tetaplah adalah metode tafwidh diunggulkan dari takwil.

Kita ambil contoh dalam tafsir Ibnu katsir misalnya saat beliau menjelaskan firman Allah di surah al Baqarah ayat 115 :

ﻭَﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏُ ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ ﺗُﻮَﻟُّﻮﺍ ﻓَﺜَﻢَّ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﺳِﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ


"Dan milik Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."

 

Beliau berkata : “Dan dalam firman-Nya ini : Sesungguhnya Allah tidak kosong dari tempat mana pun, jika yang dimaksudkan adalah ilmu-Nya, maka itu benar. Sesungguhnya ilmu-Nya mencakup seluruh hal yang diketahui. Adapun Zat-Nya, maka tidak mungkin terkurung dalam salah satu makhluk-Nya. Allah Mahasuci dari hal itu, dengan ketinggian yang besar."[3]

Beliau juga mengutip pendapat Mujahid, yang menyatakan bahwa ketika ayat “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan” diturunkan, para sahabat bertanya, “Ke mana arah yang kita tuju?” Maka turunlah ayat: “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.”[4]

Begitu juga saat beliau menjelaskan firman Allah ta’ala di surah al Maidah ayat 6 :

 

ﺑَﻞْ ﻳَﺪَﺍﻩُ ﻣَﺒْﺴُﻮﻃَﺘَﺎﻥِ ﻳُﻨْﻔِﻖ ﻛَﻴْﻒ ﻳَﺸَﺎﺀ

“Bahkan kedua tangan-Nya terbuka, Dia memberi sebagaimana yang Dia kehendaki.”

Maksudnya adalah bahwa Allah Maha Luas anugerah dan pemberian-Nya, yang tidak ada satu pun kecuali di sisi-Nya terdapat khazanahnya. Dialah yang memberikan segala kenikmatan kepada makhluk-Nya, tanpa sekutu bagi-Nya.”[5]

Dan masih banyak contoh lainnya.

Keempat : Dalam penmbahasan Aqidah merujuk pendapat Asy’ariyah

Ketika membaca karya beliau maka kita juga akan mengetahui bahwa imam Ibnu Katsir bukan hanya sekedar menukil pendapat para ulama-ulama madzhab Asy’ariyah sebagai tapi juga menjadikannya sebagai salah satu rujukan. Tak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, saat beliau menjelaskan tentang masalah ism (nama) dalam surah al fatihah beliau mendatangkan rujukan nama-nama ulama Asy’ariyah seperti Abu Ubaidah, Sibawayh, Baqillani dan imam Fakhrurazi rahimahumullah.[6]

Kelima : menyebut imam Asy’ari dengan imam ahlussunnah

Dalam beberapa karyanya kita akan dapati al imam Ibnu katsir menisbahkan madzhab ahlussunnah wal Jama’ah kepada al imam Abul Hasan al Asy’ari rahimahullah, seperti ucapan beliau :

كما زعمه ابن حزم، وغير واحد من المتكلمين، بل الصحيح الأول، كما حكاه أبو ‌الحسن ‌الأشعري عن مذهب أهل السنة والجماعة

“…Sebagaimana yang diklaim oleh Ibnu Hazm dan beberapa ahli kalam lainnya. Namun yang benar adalah pendapat pertama, sebagaimana yang dinukil oleh Abu Hasan Al-Asy'ari dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.”[7]

وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وقد حكاه الشيخ أبو ‌الحسن ‌الأشعري إجماعا عن أهل السنة والجماعة

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul' (Al Isra: 15). Hal ini juga telah dinukil oleh Syaikh Abu Hasan al Asy'ari sebagai ijma’ dari Ahlus Sunnah wal Jamaah."[8]

Bersambung ke Imam Nawawi, insyallah…



[1] Ad-Durar al Kaminah (1/17)

[2] Thabaqat Asy Syafi’iyyah al Kubra (10/398),

[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/175)

[4] Ibid

[5] Tafsir Ibnu Katsir (3/341)

[6] Tafsir Ibnu Katsir (1/148-149)

[7] Bidayah wa Nihayah (6/36)

[8] Bidayah wa Nihayah (6/555)

No comments:

Post a Comment