Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Kebolehan mengamalkan hadits dha’if tentu saja tidaklah bersifat mutlak, namun dengan syarat dan ketentuan yang harus diperhatikan. Berkata Syihabudin Muhammad bin Ahmad al Khuwayi asy Syafi’i rahimahullah :
وقُيِّدَ قولُ الجمهور بثلاثة قيود:أن لا يكون الضعف شديداً .أن يكون أصل العمل الذي ذكر فيه الترغيب والترهيب ثابتاً.أن لا يعتقد أن النبي صلّى الله عليه وسلّم قاله
“Jumhur ulama telah membuat ketetapan tiga hal (agar hadits dha’if bisa diamalkan), yaitu : Hendaknya keadaannya tidak terlalu lemah, lalu amal yang disebutkan adalah berdasarkan hadits shahih, dan selanjutnya tidak memastikan hadits itu dari Nabi shalallahu’alaihi wassalam.”[1]
1. Kelemahannya tidak terlalu parah
Al imam Suyuthi rahimahullah berkata :
أن يكون الضعف غير شديد فيخرج من انفرد من الكذابين والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه نقل العلائي الاتفاق عليه
“Hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dikenal berbohong atau diduga pembohong, begitu juga hadits dari rawi yang sangat banyak kekeliruannya tidak dapat diamalkan. Imam al ‘Alla’i menukil bahwa syarat pertama ini disepakati oleh para ulama.”[2]
Keterangan yang sama juga disebutkan oleh imam Syathibi[3] dan Abul Hasan al Mubarakfury.[4]
2. Diamalkan dalam masalah fadhail a’mal dan yang semisal
Telah jelas di bahasan sebelumnya bahwa penggunaan hadits dha’if bukanlah untuk menetapkan sebuah hukum, tapi untuk hal yang sifatnya anjuran agama. Berkata al imam Ramli rahimahullah berkata :
وعلم أيضا أن المراد الأعمال وعلم أيضا أن المراد بفضائل الأعمال الترغيب والترهيب وفي معناها القصص ونحوها
“Dan dapat diketahui dari penjelasan yang telah lalu bahwa yang dimaksud fadhailul amal adalah anjuran dan ancaman pada suatu amal, juga kisah-kisah, dan hal yang semisalnya.”[5]
Bahkan tidak ada kewajiban menjelaskan kedha’ifan sebuah hadits jika itu hanya berkaitan dengan kisah-kisah untuk diambil hikmahnya, selama tentunya kelemahannya tidak terlalu parah atau berstatus sebagai hadit palsu.
al imam Ibnu Shalah berkata :
قد أجاز بعض العلماء رواية الحديث الضعيف من غير بيان ضعفه بشروط: أولا أن يكون الحديث في القصص أو المواعظ أو فضائل الأعمال أو نحو ذلك مما لا يتعلق بصفة الله والعقائد والا بالحلال والحرام وسائر الأحكام الشرعية وأن لا يكون الحديث موضوعا أو ضعيف شديد الضعف
“Sebagian ulama telah membolehkan untuk meriwayatkan hadits dhaif tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan beberapa syarat diantaranya hadits tersebut berisi kisah, nasihat-nasihat, atau keutamaan amalan, dan tidak berkaitan dengan sifat Allah, akidah, ketetapan halal haram, berkaitan seluruh hukum syariat, dan keadaannya bukan hadits maudhu’, dan kelemahannya tidak terlalu kuat.”[6]
3. Tidak memastikan atau meyakini itu dari Rasulullah
Syarat ketiga ini dinyatakan oleh sebagian ulama, yakni ketika seseorang membawakan hadits lemah atau mengamalkannya, ia tidak boleh mengkaitkan hal itu dengan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Karena memang secara dugaan dan kaidah ilmiah tidak memenuhi syarat untuk dinisbahkan kepada sang Nabi.
Namun syarat ini tidak disepakati oleh ulama. Hanya sebagian saja yang menetapkannya. Berkata al imam Ibnu Atsir rahimahullah :
أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته لئلا ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم ما لم يقله
“Dan hendaknya tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Supaya tidak mengalamatkan sesuatu kepada Nabi apa yang tidak beliau katakan.”[7]
Al imam Suyuthi rahimahullah juga menyatakan hal yang sama :
أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته، بل يعتقد الاحتياط. هذان ذكرهما ابن عبد السلام وابن دقيق العيد
“Tidak mengkaitkan ketika mengamalkannya ini dari beliau shalallahu’alaihi wassalam. Dua syarat terakhir ini disebutkan oleh Imam Izzudin bin Abdissalam dan Ibn Daqiq Al‘Id.”[8]
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment