Banyak yang suka mie Instan karena kepraktisannya. Karena memang tidak butuh keahlian khusus dan waktu yang lama untuk bisa menghidangkan semangkuk makanan pengoyang lidah ini. Siapapun bisa, karena mulai dari bahan, resep dan bumbu menyatu dalam satu bungkusan. Cepat, murah, dan mudah, mungkin itu kata yang cukup mewakili aktivitas menghidangkan sampai mengunyah mie Instan.
Dewasa ini, cara instan ternyata sudah merambah ke banyak lini kehidupan. Mulai dari cara makan sampai ke banyak bidang, termasuk cara berfikir dan menggali ilmu.
Berpikir instan tentu tidak bisa disamakan dengan berpikir cepat dan
tangkas. Berpikir cepat lebih punya landasan dan biasanya dilakukan oleh
orang yang otaknya punya ‘jam terbang’.
Sedang instan lebih merupakan letupan. Cara pikir instan itu lebih menekankan pada solusi segera, biasanya reaksi dari kepanikan, aksi tanpa persiapan dan biasanya kurang memperhatikan jangka panjang dan dangkal tidak mendalam.
Dalam masalah ilmu agama, kebanyakan orang sekarang lebih suka kepada penjelasan yang praktis. Yang penting ada ayat ada hadits, selesai. Adapun analisa mendalam, membedah dengan ketajaman ilmu, sudah sepi peminat.
Yah, karena berfikir disiplin dan konsisten, manut, nurut dengan yang patut itu berat, tidak semua orang mau, kalau toh mau belum tentu mampu, sedang yang instan-instan, apalagi yang berfikir bebas tanpa kaidah dan aturan, dengan main comot sana paste sini itu enaknya bukan main.
Sebab yang menjadikan seseorang hobi Instan :

1. Miskin ilmu dan faqir pengetahuan.
Untuk bisa berfikir dengan alur yang benar. Dibutuhkan perangkat yang tidak sedikit, terlebih dalam masalah agama. Para ulama dahulu menghabiskan masa puluhan tahun untuk belajara menimba ilmu. Para Kiyai ketika masih jadi santri tekun mengaji kitab dari yang paling tipis sampai yang puluhan Jilid.
Sedangkan para ‘instan Mania’ untuk bisa berbicara hukum agama, bahkan tidak harus paham apa itu nahwu sharaf dan seabarek perangkat ilmu alat. Untuk menjelma menjadi mufti, yang mereka butuhkan hanya gedget dan koneksi interne.
2. Malas.
Apapun termasuk berfikir butuh keringat. Untuk bisa memahami agama dengan baik itu butuh perangkat. Ulama telah berlelah-lelah memudahkannya untuk kita. Yang ternyata juga masih tidak mudah-mudah mudah amat. Karena kita perlu melahap puluhan jilid kitab fiqih dari berbagai mazhab jika ingin benar-benar paham apa itu fiqih. Kita juga perlu memplototi kitab hadits, tafsir, lughah dan cabang keilmuan lainnya. Modal awalnya ‘Cuma’ harus bisa bahasa Arab.
Karena kalau mau mencari terjemah, dari jutaan kitab paling baru 5 % yang sudah naik cetak. Apa dengan modal 5 % itu antum mau sok ngacak- ngacak dan mencak-mencak soal agama ?
Semoga isi tulisan ini juga tidak termasuk hasil berpikir instan. Dan cara antum menyimak juga bukan seperti menyeduh mie instan.Karena itu silahkan direnungi, kalau perlu dikoreksi dan dikritisi. Oke Coy ?
Wallahu a'lam. ©AST
Sedang instan lebih merupakan letupan. Cara pikir instan itu lebih menekankan pada solusi segera, biasanya reaksi dari kepanikan, aksi tanpa persiapan dan biasanya kurang memperhatikan jangka panjang dan dangkal tidak mendalam.
Dalam masalah ilmu agama, kebanyakan orang sekarang lebih suka kepada penjelasan yang praktis. Yang penting ada ayat ada hadits, selesai. Adapun analisa mendalam, membedah dengan ketajaman ilmu, sudah sepi peminat.
Yah, karena berfikir disiplin dan konsisten, manut, nurut dengan yang patut itu berat, tidak semua orang mau, kalau toh mau belum tentu mampu, sedang yang instan-instan, apalagi yang berfikir bebas tanpa kaidah dan aturan, dengan main comot sana paste sini itu enaknya bukan main.
Sebab yang menjadikan seseorang hobi Instan :

1. Miskin ilmu dan faqir pengetahuan.
Untuk bisa berfikir dengan alur yang benar. Dibutuhkan perangkat yang tidak sedikit, terlebih dalam masalah agama. Para ulama dahulu menghabiskan masa puluhan tahun untuk belajara menimba ilmu. Para Kiyai ketika masih jadi santri tekun mengaji kitab dari yang paling tipis sampai yang puluhan Jilid.
Sedangkan para ‘instan Mania’ untuk bisa berbicara hukum agama, bahkan tidak harus paham apa itu nahwu sharaf dan seabarek perangkat ilmu alat. Untuk menjelma menjadi mufti, yang mereka butuhkan hanya gedget dan koneksi interne.
2. Malas.
Apapun termasuk berfikir butuh keringat. Untuk bisa memahami agama dengan baik itu butuh perangkat. Ulama telah berlelah-lelah memudahkannya untuk kita. Yang ternyata juga masih tidak mudah-mudah mudah amat. Karena kita perlu melahap puluhan jilid kitab fiqih dari berbagai mazhab jika ingin benar-benar paham apa itu fiqih. Kita juga perlu memplototi kitab hadits, tafsir, lughah dan cabang keilmuan lainnya. Modal awalnya ‘Cuma’ harus bisa bahasa Arab.
Karena kalau mau mencari terjemah, dari jutaan kitab paling baru 5 % yang sudah naik cetak. Apa dengan modal 5 % itu antum mau sok ngacak- ngacak dan mencak-mencak soal agama ?
Semoga isi tulisan ini juga tidak termasuk hasil berpikir instan. Dan cara antum menyimak juga bukan seperti menyeduh mie instan.Karena itu silahkan direnungi, kalau perlu dikoreksi dan dikritisi. Oke Coy ?
Wallahu a'lam. ©AST
No comments:
Post a Comment