Kita sedang berkisah
tentang seorang pengusaha yang tadinya sukses, kemudian mengalami kebangkrutan. Usahanya gulung tikar
dan hutang dimana-mana. Keadaan telah berubah total, yang tadinya hidup serba ada, sekarang hanya
apa adanya. Jangankan untuk bisa bekerja membangun usaha kembali, sekedar untuk
makan saja susahnya bukan main.
Usaha mencari
bantuan seperti sia-sia. Semua relasi dan kenalan paling banter hanya bisa turut
prihatin. Dalam kondisi hampir putus asa, datanglah kepadanya seorang sahabat
lama, ia datang mengulurkan bantuan. Seraya berkata, “ Saudaraku saya dengar
engkau sedang tertimpa ujian ? apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu ?”
Maka mulailah
ia berkisah tentang masalahnya. Sedu sedan tangisan mengiringi lisannya bertutur.
Beratnya beban masalah yang dihadapi seakan tidak menyisakan harapan.
Setelah
selesai menyimak, sahabat tersebut berkata, “Baik apa yang bisa saya lakukan
untuk membantumu ? berapa dana yang engkau butuhkan untuk melunasi
hutang-hutangmu dan untuk membangun usahamu kembali.”
Orang tersebut
menjawab, “Mungkin sekitar 2 milyar.”
Sahabat tersebut
menjawab, “Kalau uang segitu saya belum ada sekarang. Saya ada 1 milyar,
insyaallah pekan depan yang 1 milyar menyusul. Bagaimana ?
Tidak bisa
dilukiskan raut lagi raut kegembiraannya mendengar ucapan sahabatnya itersebut.
Semangat hidup yang sudah redup kembali berkobar. Dan mulailah ia bangkit
membangun usahanya kembali dan melunasi hutag-hutangnya.
Setahun berlalu.
Pengusaha ini telah kembali bangkit. Hutangnya pun telah terlunasi. Datanglah ia
ke rumah sahabatnya untuk mengembalikan sebagian pinajamannya. Ia disambut
dengan luapan kegembiraan sahabatnya tersebut. Namun begitu ia berniat
mengembalikan hutangnya, sahabatnya tersebut menjawab : “Akhi, ketika dahulu
saya membantu engkau, tidak terbersit sedikitpun aku berharap engkau akan
mengembalikannya. Maka aku berharap, gunakan saja uang itu untuk dirimu dan
keluargamu. Atau sumbangkan saja ke yatim piatu atau pondok pesantren. Di Sekambing
bontang dengar-dengar ada Pesantren Subulana yang sedang berbenah. Salurkan saja
kesana.... “ J
Mendapatkan
tumpukan kebaikan seperti itu, kira-kira seperti apa sikap pengusaha tersebut
kepada sahabatnya ini ? Tentu ia akan menyampaikan ribuan terimakasih, dan
selamanya ia tidak akan lupa jasa-jasanya.
Namun ternyata
terjadilah sebuah tragedi. Beberapa waktu berselang. Sahabatnya ini punya hajat
akan menikahkan putrinya. Dia berharap agar pengusaha ini bisa hadir di hari
bahagia putrinya tersebut.
Namun ternyata
ia tidak bisa menghadiri. Tanpa pesan atau alasan sebab ketidakhadirannya diacara
tersebut kepada sahabatnya.
Bagaimanakah
perasan sahabatnya tadi ? Tentu ia akan kecewa. Lebih kecewa lagi setelah ia
melihat dinding Facebook sahabatnya yang telah ditolongnya tadi, yang di hari H
perhelatan anaknya, ia memposting foto-foto sedang jalan-jalan ke Bali.
Hatinya hancur
kala itu. Dan dia pasti akan menvonis bahwa pengusaha tadi adalah sahabat yang
tidak tahu diri, orang yang tidak tahu berterimakasih.
Saudaraku,
mungkin pengusaha yang tidak tahu balas budi dalam kisah diatas adalah diri
kita sendiri. Berapa banyak nikmat yang sudah Allah berikan kepada kita dalam
setahun ini ? 2 Milyar, 5 Milyar, 10 Milyar? Tidak terhitung !
Allah telah
mengucurkan karuniaNya, mencurahkan rezekiNya, melimpahkan kasih sayang dan
ampunanNya dan membentangkan rahmatNya yang begitu luas tak bertepi.
Tapi begitu
hari perhelatan Idhul Adha, dimana Dia mengharapkan hadiah terbaik dari kita,
kita justru tidak menghadirinya ? Boro-boro membawa hadiah terbaik hadirpun
tidak !
Kita enggan
berqurban dengan alibi hadiah itu ‘hanya’ sunnah. Namun disaat yang sama kita
mampu makan direstoran, jalan-jalan pergi menghambur-hamburkan uang untuk
kesenangan.
Sungguh jika
demikian, kita adalah orang yang sangat tidak pandai berterimakasih.
No comments:
Post a Comment