Saturday, 26 October 2024

AKHLAQ MENAWAN DARI IMAM IBNU SIRIN

 Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq

            Diantara ciri yang melekat kuat dari pribadi para imam kaum muslimin adalah adanya keluhuran budi pekerti dan akhlaq yang sangat tinggi, termasuk yang bisa kita jumpai dari diri imam Ibnu Sirin rahimahullah. Mari kita simak beberapa diantara keteladanan indah beliau dalam perkara ini.

Tidak mau menyakiti seorang muslim

Diantara wujud kemuliaan akhlaq sang imam adalah diketahui bahwa beliau memiliki beberapa rumah kontrakan, namun anehnya rumah tersebut hanya disewakan kepada orang-orang kafir dzimmi, tidak untuk orang Islam. Dan ketika hal tersebut ditanyakan alasannya beliau menjelaskan :

إذا جاء رأسُ الشهر رُعْتُ الساكن، وأكرهُ أن أروِّع مسلمًا

“Jika telah masuk awal bulan, orang yang mengontrak rumah biasanya akan mulai dihinggapi rasa gelisah (memikirkan biaya sewa). Sedangkan aku tidak mau menimpakan rasa cemas kepada seorang muslim.”[1]

Subhanallah, beliau tidak mau menimpakan rasa cemas kepada seorang muslim padahal itu dalam bentuk perkara halal, lalu bagaimana lagi jika dalam perkara yang dilarang atau diharamkan ? Lalu bandingkan dengan kita yang acap kali menimpakan rasa cemas, dan takut untuk hal-hal yang sebenarnya kita diperintahkan berbuat baik dan lembut kepada sesama muslim. Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam telah bersabda dalam sebuah hadits mengingatkan kita tentang perkara ini :

‌لَا ‌يَحِلُّ ‌لِمُسْلِمٍ ‌أَنْ ‌يُرَوِّعَ ‌مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat cemas (ketakutan) muslim yang lain.” (HR. Ahmad)

Sangat memuliakan orang tuanya

            Al imam Ibnu Sirin rahimahullah tidak pernah sekalipun meninggikan pembicaraan di hadapan orang tuanya. Diriwayatkan jika tadinya ia berbicara dengan bahasa yang tegas atau keras, suaranya akan mendadak mengecil jika tiba-tiba ada ibunya. Sampai ada yang keheranan dan menanyakan, kenapa sang imam suaranya berubah menjadi sangat pelan dan lembut, dijawab oleh orang yang mengenalnya :

كذا يكون عند أمّه

“Begitulah ia jika sudah di depan ibunya.”[2]

 Putrinya Hafsah binti Sirin menceritakan :

وما رأيتُه رافعًا صوته عليها قطّ وكان إذا كلَّمها كأنه مريض

“Aku tidak pernah melihat ayahku meski sekali meninggikan nada suaranya di depan ibunya. Jika ia berbicara dengan ibunya, seolah-olah ia seperti orang yang sedang sakit.”[3]

Pernah ada orang yang melihatnya sedang berbicara dengan ibunya, dan orang itu kelihatannya tidak mengetahui  bahwa itu adalah imam Ibnu Sirin, ia berkata : “Orang ini kelihatannya sedang ditimpa penyakit yang parah.”[4]

Menolak diistimewakan

Al imam Ibnu Sirin pernah dijebloskan ke dalam penjara karena sebuah masalah. Sang penjaga penjara karena mengenal sang imam dengan baik dan juga mengetahui bahwa beliau tidaklah bersalah hendak memberikan hak khusus kepadanya. Yakni di malam hari dia mempersilahkan imam Ibnu Sirin untuk pulang ke rumahnnya dan nanti kembali lagi ke penjara di pagi harinya.

Namun justru beliau menolak dengan berkata :

لا والله لا أتعرَّض للجناية على الشرع والسلطان وعليك

"Tidak, demi Allah, aku tidak akan mau menjerumuskan diriku dan dirimu dengan melanggar hukum syariat dan juga aturan negara.”[5]

Semoga bermanfaat


[1] Hilyatul Aulia (2/268)

[2] Tabaqat li Ibni Sa’ad (9/192)

[3] Tarikh Damasyq (26/279)

[4] Tarikh Damasyq (26/279)

[5] Tarikh Baghdad (3/288)

Tuesday, 15 October 2024

BIOGRAFI SINGKAT PENDIRI MADZHAB

 Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

 A. AL IMAM ABU HANIFAH

            Di zaman tabi’in muncullah sebuah madrasah keilmuan yang awalnya berpusat di Kufah, namun kemudian meluas dan menjadi madzhab fiqih yang paling pesat wilayah persebarannya dalam sepanjang sejarah Islam dulu hingga sekarang ini. Madzhab ini dikenal dengan nama madzhab Hanafi. Mazhab Hanafi adalah mazhab yang paling banyak dianut oleh umat Islam di dunia, terutama di wilayah-wilayah seperti Turki, Asia Tengah, India, Pakistan, Mesir, dan wilayah-wilayah bekas kekhalifahan Utsmaniyah.

            Madzhab ini dikenal dengan kekuatan logika, penalaran dan qiyasnya dalam merumuskan hukum-hukum fiqih, dan sang imam sebagai pendiri madzhab digelari dengan imam ahlu ra’yi atau pemimpinnya ahli logika. Dalam berbagai kitab para ulama, beliau disebut juga dengan gelar Imamul A’zham yang artinya imam yang agung.[1]

            Beliau adalah al imam Abu Hanifah rahimahullah, nama aslinya Nu’man bin Tsabit al Kufi. Untuk asal daerahnya ulama berbeda pendapat. At Taqi al Ghazi mengatakan : “Terjadi perselisihan pendapat tentang asal daerahnya, ada yang mengatakan dari Kabil, ada pula yang menyebut Babil, ada yang menyebut Nasa, ada yang mengatakan Tirmidz, ada juga yang menyebut al Anbar, dan lainnya.

Cucunya yang bernama Ismail bin Hammad bin Abi Hanifah berkata :

ولد جدي في سنة ثمانين، وذهب ثابت إلى علي وهو صغير، فدعا له بالبركة فيه و في ذريته، ونحن نرجو من الله أن يكون استجاب ذلك لعلي رضي الله عنه فينا.

“Kakekku dilahirkan tahun 80 Hijriyah, dan Tsabit (ayah Abu Hanifah) membawanya saat masih kecil kepada Ali bin Abi Thalib, lalu Ali mendoakannya dengan keberkahan untuknya dan keturunannya. Dan kami mengharapkan kepada Allah agar mengabulkan hal itu, karena doa Ali radhiallahu ‘anhu pada kami.”[2]

            Sebab mengapa beliau mendapatkan panggilan Abu Hanifah berbeda-beda riwayatnya. Ada yang menyebutkan sebab karena kuatnya ibadahnya hingga ia disebut orang yang hanif, sebagiannya lagi karena beliau berobat dengan sejenis obat yang bernama Hanifah. Sedangkan Abu Yusuf mengatakan sebabnya karena ia selalu membawa Hanif (semacam alat menyimpan tinta) kemana pun ia pergi.[3]

Pujian ulama kepada sang imam atas ilmunya

            Al Imam Abdullah bin al Mubarak rahimahullah berkata :

ما رأيت رجلًا أوقر في مجلسه، ولا أحسن سمتًا وحِلمًا من أبي حنيفة

“Aku tidak pernah melihat seorang laki-laki yang lebih berwibawa di majelisnya, yang paling baik adab dan kesantunannya melebihi imam Abu Hanifah.”[4]

Beliau juga berkata :

أبو حنيفة أفقهُ الناس

“Abu Hanifah adalah orang yang paling paham fiqih.”[5]

Ali bin Asham rahimahullah berkata :

لو وُزن عقلُ أبي حنيفة بعقل نصف أهل الأرض، لرجَح بهم

“Seandainya ditimbang kekuatan akal Abu Hanifah dengan separuh penduduk bumi, niscaya dia akan mengalahkan mereka."[6]

Yahya bin Nashr rahimahullah berkata :

وكان من أفقهِ أهل زمانه وأتقاهم

“Beliau termasuk orang yang paling paham fiqih di zamannya dan orang yang paling bertaqwa.”[7]

Maki bin Ibrahim rahimahullah berkata :

كان أبو حنيفة أعلمَ أهلِ الأرض

“Abu Hanifah merupakan penduduk bumi yang paling berilmu.”[8]

Syadad bin Hakim berkata :

ما رأيت أعلم من أبي حنيفة

“Aku belum pernah melihat orang yang lebih berilmu dibanding Abu Hanifah.”[9]

Imam Malik rahimahullah ketika ditanya apakah pernah melihat imam Abu Hanifah, maka beliau menjawab :

نعم، رأيت رجلًا لو كلمك في هذه السارية أن يجعلها ذهبًا، لقام بحجَّته

“Iya, aku melihat seorang laki-laki yang seandainya ia mengatakan tiang yang terbuat dari kayu ini adalah emas, niscaya ia bisa mempertahankan pendapatnya.”[10]

Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

الناس في الفقه عيالٌ على أبي حنيفة

“Semua orang dalam urusan fiqih berhutang kepada imam Abu Hanifah.”[11]

            Syaikh At Taqi al Ghazi rahimahullah berkata : “Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fiqih dunia seluruhnya, orang semasa dan setelahnya menjadi lemah di hadapannya, belum pernah mata melihat yang semisalnya, belum ada seorang mujtahid mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.”[12]

Ibadahnya

Asad bin Amru rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة، رحمه الله، صلى العشاء والصبح بوضوء أربعين سنة

“Abu Hanifah rahimahullah melakukan shalat isya dan subuh dengan sekali wudhu selama 40 tahun.”[13]

Imam Abu Yusuf rahimahullah berkata :

‌كان ‌أبو ‌حنيفة ‌يختم ‌القرآن ‌كل ‌ليلة ‌في ‌ركعة

“Adalah imam Abu Hanifah biasa mengkhatamkan al Qur’an setiap malamnya hanya dalam satu raka’at.”[14]

Mis’ar bin Kidam juga berkata : “Aku pernah melihat Abu Hnaifah mengkhatamkan Qur’an dalam satu raka’at.”[15]

Yahya bin Abdul Hamid al Hamaniy dari ayahnya :

أنه صحب أبا حنيفة ستة أشهر. قال: ‌فما ‌رأيته ‌صلى ‌الغداة ‌إلا ‌بوضوء ‌عشاء ‌الآخرة

“Bahwa ayahnya pernah bersama Abu Hanifah selama 6 bulan. Dan selama itu ia tidak melihat beliau shalat Shubuh kecuali dengan shalat Isya yang diakhirkan.”[16]

Qashim bin Mu’in rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة قام ليلة يردد قوله تعالى: بل الساعة موعدهم والساعة أدهى وأمر. ويبكي ويتضرع إلى الفجر.

“Abu Hanifah pernah bangun untuk shalat malam dan mengulang-ulang firman Allah Taala: (sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit. (Al-Qamar: 46), lalu Beliau menangis dan larut dalam kekhusyu’an hingga fajar.”[17]

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata :

أن أبا حنيفة ختم القرآن سبعة آلاف مرة

“Bahwa Abu Hanifah telah mengkhatamkan Qur’an sebanyak 7000 kali.”[18]

Kedermawanannya

 Al Imam Abu Hanifah rahimahullah dikenal sebagai ulama yang sangat dermawan. Dalam Thabaqatnya beliau rutin memberikan tunjangan kepada beberapa shahabatnya dan membiayai muridnya dalam belajar.

            Bahkan sangking tak main-mainnya dalam mengalokasikan dana sedekahnya, beliau akan menganggarkan sedekah senilai uang belanja dan kebutuhan untuk keluarganya. Al Mutsanna bin Raja’ rahimahullah berkata :

جعل أبو حنيفة على نفسه، إن حلف بالله صادقا، أن يتصدق بدينار. وكان إذا أنفق على عياله نفقة تصدق بمثلها.

“Abu Hanifah telah bersumpah kepada Allah dengan sebenar-benarnya bahwa dia akan bersedekah dengan dinar, yaitu sejumlah nilai yang ia berikan untuk keluarganya.”[19]

Waki’ berkata :

وكان ‌إذا ‌اكتسى ‌ثوبا ‌جديدا ‌كسا بقدر ثمنه شيوخ العلماء

“Adalah Abu Hanifah jika menggunakan baju baru, maka ia juga akan memberi baju dengan nilai serupa kepada gurunya atau ulama.”[20]

Kecerdasannya

            Ada begitu banyak riwayat atau kisah yang menuturkan tentang kecerdasan sang imam yang satu ini dalam menghadapi masalah yang pelik dan rumit. Berikut ini diantaranya.

            Pernah pada suatu hari khalifah al Manshur memanggil Imam Abu Hanifah untuk ditawari jabatan sebagai hakim agung. Namun beliau menolak dengan mengatakan :

لا أصلح للقضاء

“Saya tidak layak.”

 Mendengar itu Al Manshur menjawab dengan nada yang meninggi : “Engkau telah berbohong !”

 Imam Abu Hanifah menjawab :“Nah bener kan, anda telah menetapkan hukum atas diriku wahai Amiral mukminin kalau saya memang tidak layak untuk jabatan tersebut.

فإن كنت كاذبا، فلا أصلح، وإن كنت صادقا، فقد أخبرتكم أني لا أصلح فحبسه.

“Kalau akau memang berdusta, aku memang tidak layak (Pendusta tidak pantas menerima jabatan). Sebaliknya, kalau aku jujur, sungguh aku telah mengatakan : Aku memang tidak layak.”[21]

            Kalau bahasa kita, kalau memang sudah tahu aku ini pembohong koq bisanya anda menginginkan saya jadi pejabat tinggi. Inilah jawaban telak Abu Hanifah untuk mengelak dari jabatan yang tidak bisa dibantah oleh khalifah.

Diantara kisah unik tentangnya

            Di masa beliau di kota Kufah ada seorang laki-laki pengikut ajaran Syi'ah yang dikenal sangat membenci Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu. Bahkan karena bencinya, ia sampai mengatakan bahwa sayidina Utsman itu sebenarnya adalah orang Yahudi.

            Al imam Abu Hanifah rahimahullah lalu mendatangi orang tersebut. Tentu saja mendapatkan kunjungan itu dia senang sekali, karena rumahnya didatangi oleh ulama besar yang terkenal di seantero negeri. Setelah basa-basi sejenak, laki-laki tersebut menanyakan kepada sang imam maksud kedatangannya, atau mungkin sedang membutuhkan suatu bantuan yang bisa ia berikan.

Imam Abu Hanifah pun berkata mengutarakan maksud kedatangannya :

أتيتك خاطبًا لابنتك

"Aku datang untuk melamar putrimu..."

"Untuk siapa wahai imam ?" Tukas laki-laki tersebut seperti tidak sabar.

Sang imam melanjutkan,

رجل شريف غني بالمال، حافظ لكتاب الله، سخيٌّ يقوم الليل في ركعة، كثير البكاء من خوف الله،

"Untuk seseorang yang dia termasuk dari keluarga terhormat, memiliki banyak harta, hafal al Qur'an dan senantiasa menjaga hukum-hukumnya. Juga sangat tekun dalam menjaga shalat malam dan banyak menangis karena takutnya kepada Allah.

            Mendengar itu wajah laki-laki itu berbinar karena gembiranya. Lalu ia berkata : "Wah ini mah luar biasa. Sebenarnya, tanpa anda menyebutkan siapa yang anda lamarkan, cukup anda yang datang melamarkan, itu sudah cukup wahai imam."

Imam Abu Hanifah berkata :

إلا أن فيه خَصلة،

"Sebentar. Tapi dia punya satu kekurangan..."

Lelaki itu bertanya : "Apa itu kekurangannya ?"

Sang imam berkata : "Sayangnya dia seorang Yahudi..."

Mendengar itu dengan nada terkejut bercampur kecewa laki-laki itu pun berkata :

سبحان الله! تأمرني أن أزوج ابنتي من يهودي.

"Subhanallah. Anda mau menyuruhku menikahkan putriku dengan Yahudi !?"

Abu Hanifah bertanya : "Jadi tidak boleh ?"

"Jelas lah, saya tidak setuju." Jawabnya.

Lalu sang imam berkata menegaskan :

فالنبي صلى الله عليه وسلم زوج ابنتيه من يهودي؟!

"Kalau anda saja tidak mau menikahkan putri anda dengan Yahudi, lalu bagaimana mungkin Nabi anda katakan menikahkan putrinya dengan seorang Yahudi sampai dua kali ?"

Laki-laki itu pun terperanjat. Setelah diam untuk beberapa saat ia berkata :

أستغفر الله؛ إني تائب إلى الله عز وجل؛

"Astaghfirullah. Aku bertaubat kepada Allah 'azza wa Jalla..."[22]

Wafatnya

            Al imam Abu Hanifah meninggal di Baghdad tahun 150 H. Di tahun yang sama di Ghaza lahir al imam Syafi’i rahimahullah. Bisyr bin Al Walid mengatakan, “Abu Hanifah wafat di penjara dan dikuburkan di pekuburan Al-Khaiziran. Ya’qub bin Syaibah mengatakan, “Aku dikabarkan bahwa Beliau wafat dalam keadaan sujud.”

            Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berkata :

رحمك الله تعالى وغفر لك، لم تُفطِر منذ ثلاثين سنة، ولم تتوسَّد يمينك بالليل منذ أربعين سنة، وقد أتعبتَ مَن بعدك، وفضحتَ القرَّاء

“Semoga Allah merahmati anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa anda karena jasa-jasa yang telah anda berikan. Sungguh anda tidak pernah putus puasa selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian anda akan membuat lesu para fuqaha setelahnya.”[23]

Wallahu a'lam.


[1] Mizanul I’tidal (4/265)

[2] Siyar A’lamin Nubala, 6/395)

[3] Min A’lam as Salaf hal. 222

[4] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[5] Ibid

[6] Tarikh Baghdad (15/487)

[7] Al Intiqa hal. 163

[8] Bidayah wa Nihayah (10/110)

[9] Ath Thabaqat As Sunniyah Hal. 29

[10] Siyar A’lam Nubala (6/399)

[11] Siyar A’lam Nubala (6/403)

[12] Ath Thabaqat Sunniyah Hal. 24

[13] Siyar A’lam Nubala (6/399)

[14] Tarikh Islami (9/195)

[15] Siyar A’lam Nubala (6/403)

[16] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[17] Ibid

[18] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[19] Siyar A’lam Nubala (6/400)

[20] Akhbar Abu Hanifah wa Ashabihi hal. 60

[21] Siyar A’lam Nubala (6/402)

[22] Tarikh al Baghdadi (13/364)

[23] Tahdzibut Tahdzib (5/630)

Sunday, 13 October 2024

KEUTAMAAN MEMAAFKAN


Berikut ini adalah nasehat singkat dari ayat, hadits dan sebagian qaul ulama tentang keutamaan memaafkan dan berlapang dada terhadap gangguan atau kesalahan orang lain.

Allah ta’ala berfirman :

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

 

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”(QS. Al A’raf : 199)

Nabi bersabda :

‌وَمَا ‌زَادَ ‌اللَّهُ ‌عَبْدًا ‌بِعَفْوٍ ‌إِلَّا ‌عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ عَبْدٌ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

"Tidaklah seseorang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Ahmad)

Sayidina Umar bin Abdul Aziz rahiahullah berkata :

أحب الأمور إلى الله ثلاثة: العفو عند المقدرة، والقصد في الجدة، والرفق بالعبدة

"Tiga hal yang paling dicintai Allah: memaafkan saat mampu untuk membalas, bersikap sederhana ketika kaya, dan berlemah lembut kepada hamba sahaya."[1]

Al imam Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :

احتمل لأخيك إلى سبعين زلة قيل له وكيف ذلك يا أبا علي قال لأن الأخ الذي آخيته في الله ليس يزل سبعين زلة

“Sabarlah dalam menanggung kesalahan saudaramu hingga tujuh puluh kesalahan." Dikatakan kepadanya: "Kenapa harus begitu ?" Beliau menjawab: "Karena seseorang yang engkau jadikan sebagai saudara karena Allah, ia akan senantiasa berbuat salah hingga tujuh puluh kali."[2]

Al Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

لما عفوت ولم أحقد على أحد أرحت نفسي من ظلم العداوات

"Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan dendam terhadap siapapun,
Aku pun mengistirahatkan diriku dari buruknya permusuhan."[3]

Al imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata :

توطين نفسه على لزوم العفو عن الناس كافة، وترك الخروج لمجازاة الإساءة؛ إذ لا سبب لتسكين الإساءة أحسن من الإحسان، ولا سبب لنماء الإساءة وتهييجها أشد من الاستعمال بمثلها

"Selayaknya orang yang berakal untuk menanamkan dalam dirinya sifat senantiasa memaafkan kesalahan orang lain dan meninggalkan pembalasan atas keburukan yang diterimanya. Karena tidak ada cara yang lebih baik untuk meredam kejahatan daripada berbuat baik, dan tidak ada yang lebih memperparah kejahatan daripada membalas dengan kejahatan yang serupa."[4]

Al imam Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah berkata :

 لا ينبل الرجل حتى يكون فيه خصلتان: العفة عما في أيدي الناس والتجاوز عنهم

"Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan sejati sampai ia memiliki dua sifat : Menjaga diri dari berharap apa yang ada di tangan manusia, dan berlapang dada terhadap sikap mereka.”[5]

Semoga bermanfaat


[1] Raudhah al Uqala’ hlm. 131

[2] Raudhah al Uqala hlm. 168

[3] Diwan asy Syafi’i hlm. 111

[4] Raudhah al Uqala’ hlm. 131

[5] Ittihaf al Maharah (18/456)