Monday, 30 June 2025

BAHASA NABI YANG MEMBUMI


Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Di antara bentuk keagungan Rasulullah adalah ketika menyampaikan dakwah maka beliau akan  menyesuaikan isi dakwah dengan kondisi, latar belakang, dan tingkat pemahaman orang yang menerimanya. Ucapan beliau tidak hanya fasih dan jelas, tetapi juga penuh hikmah dan sesuai dengan situasi, sehingga pesan dakwah dapat diterima dengan mudah oleh hati dan akal pendengarnya. Ini menunjukkan kesempurnaan akal, keluasan ilmu, serta kebijaksanaan beliau dalam menyampaikan risalah.

Al imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata :

أن رسول الله كان أفصح العرب لسانًا، وأوضحَهم بيانًا، وأعذبَهم نطقًا، وأسدَّهم لفظًا، وأبينَهم لهجةً، وأقومَهم حجةً، وأعرفَهم بمواقع الخطاب، وأهداهم إلى طريق الصواب، تأييدًا إلهيًا، ولفظًا سماويًا، وعناية ربانية، ورعاية روحانية

"Adalah Rasulullah adalah orang Arab yang paling fasih lisannya, paling jelas penjelasannya, paling indah ucapannya, paling tepat susunannya, paling jelas logatnya, paling kuat hujjahnya, paling tahu letak-letak kata dalam percakapan, dan paling tepat dalam menunjukkan jalan kebenaran; semua itu adalah dukungan Ilahi, ucapan dari langit, perhatian Rabbani, dan penjagaan ruhani."

Al imam Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata :

كان صلى الله عليه وسلم من ذلك بالمحل الأفضل والموضع الذي لا يجهل، سلاسة طبع، وبراعة منزع، وإيجاز مقطع، ونصاعة لفظ، وجزالة قول، وصحة معان، وقلة تكلف، أُوتي جوامع الكلم، وخُص ببدائع الحكم، وعُلِّم ألسنة العرب، يُخاطب كل أمة بلسانها، ويُحاورها بلغتها، ويُباريها في منزع بلاغتها


"Beliau berada pada derajat kefasihan yang paling utama, dengan kelembutan tabiat, keindahan penyampaian, kejelasan lafaz, kekuatan makna, dan tanpa kepura-puraan. Beliau diberi jawami‘ al-kalim, dikhususkan dengan hikmah-hikmah yang menakjubkan, dan diajarkan berbagai dialek Arab. Beliau berbicara dengan setiap kaum dalam bahasa mereka, berdebat dengan logat mereka, dan menandingi mereka dalam gaya retorika mereka."[1]

Bahkan, Nabi bukan hanya menyesuaikan dakwah dari sisi isi (konten), tetapi juga dari sisi logat dan dialek (uslub dan lahjah) yang beliau gunakan dalam berdialog. Beliau mampu berbicara dengan gaya bahasa yang sesuai dengan latar kabilah atau adat lisan orang yang diajak bicara, sehingga pesan dakwah lebih mudah dipahami dan lebih dalam pengaruhnya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kesempurnaan metode komunikasi dan strategi dakwah yang hanya dianugerahkan oleh Allah kepada utusan-Nya yang paling mulia.

Diriwayatkan bahwa sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah Bersama Rasulullah menemui suatu suku yang berasal dari daerah yang jauh. Saat itu Nabi berkomunikasi dengan mereka dengan menyesuaikan jenis kosa kata yang digunakan hingga gaya bahasa dan juga dialeg beliau .

Hingga hal ini membuat Sayidina  Ali bertanya heran kepada Nabi , Ali berkata : "Wahai Rasulullah, kita ini berasal dari satu ayah (satu bangsa), namun kami mendapati engkau berbicara kepada para delegasi Arab dengan bahasa yang banyak darinya tidak kami pahami."


Maka Beliau menjawab:

أدبني ربِّي فأحسنَ تأديبي

"Tuhanku telah mendidikku, maka Dia memperindah pendidikanku.”[2]

Maka hal ini menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja yang menyampaikan ilmu dan kebaikan pada hari ini. Dakwah yang baik bukan diukur dari seberapa tinggi istilah yang digunakan, tetapi dari seberapa baik pesan itu dapat dipahami dan menyentuh hati orang yang mendengarnya. Kalimat-kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti sering kali lebih menghidupkan hati daripada ungkapan-ungkapan yang rumit, meskipun secara makna benar.

Karena itu, meneladani Rasulullah dalam cara berbicara dan menyampaikan dakwah merupakan bagian dari kesempurnaan mengikuti sunnah beliau. Semoga Allah menghiasi para juru dakwah di masa kini dengan kelembutan dalam lisan, kejernihan dalam niat, dan kebijaksanaan dalam menyampaikan, sebagaimana Allah telah menganugerahkan semua itu kepada Nabi-Nya yang mulia .

Wallahu a'lam.


[1] Subul al Huda wa Ar Rasyad (2/95)

[2] Dinukil oleh al ‘Ajuni dalam Kasyf al Khafa dan disandarkan kepada al ‘Askaridengan sanad lemah, namun maknanya shahih menurut Ibn Atsir dan Ibn Taymiyyah.

Monday, 20 January 2025

BAGIAN KEENAM : IMAM IBNU JAUZI BERMADZHAB ASY’ARI

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu al Jauzi rahimahullah dalam bidang fiqih diketahui pasti bermadzhab Hanbali sebagaimana hal ini bisa dilihat dalam karya-karyanya dan juga masuknya nama beliau ke dalam Thabaqat al Hanabilah.[1] Sedangkan dalam ilmu Aqidah beliau bermadzhab Asy’ari dengan bukti sebagai berikut.

Bukti pertama : Pernyataan ulama

Al imam Ibnu rajab al Hanbali rahimahullah berkata :

فظهر منه بعض تأوّلٌ لبعض الصفات إلى أن مات رحمه الله

Maka telah nampak padanya (imam Ibnu Jauzi), ia menta’wil terhadap sebagian sifat-sifat Allah, hingga ia wafat semoga Allah merahmatinya.”[2]

Beliau juga berkata : “Ibnu al Jauzi sangat mengagungkan Abu al Wafa Ibn Aqil (ulama Asy’ariyah) dan banyak mengikuti sebagian besar pandangannya…”[3]

Bukti kedua : Pemikirannya

Imam Ibnu Jauzi saat menjelaskan beberapa sifat Khabariyah, beliau menggunakan dua pendekatan yakni Tafwidh dan juga terkadang mentakwil, yang mana dua hal ini adalah metode dalam madzhab Asy’ariyah. Berikut di antara contohnya ketika beliau menjelaskan firman Allah : “Apakah mereka menunggu selain Allah datang kepada mereka dalam naungan dari awan ?” (QS. A Baqarah : 210)  yaitu dengan naungan."[4]

Ketika beliau menjelaskan sifat ityan (datang) bagi Allah ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits :

إِذَا تَلَقَّانِي عَبْدِي بِشِبْرٍ؛ تَلَقَّيْتُهُ بِذِرَاعٍ، وَإِذَا تَلَقَّانِي بِذِرَاعٍ؛ تَلَقَّيْتُهُ بِبَاعٍ، وَإِذَا تَلَقَّانِي بِبَاعٍ؛ جِئْتُهُ وَأَتَيْتُهُ بِأَسْرَعَ.

"Jika hambaku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa; jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan datang dan mendatanginya dengan lebih cepat." (HR, Muslim)

Beliau juga melakukan takwil terhadap hadist tersebut.[5]

Bukti ketiga : Pernyatan kalangan yang kontra kepadanya

Al imam Ibnu Qudamah ketika menilai pemikiran sang imam yang condong ke madzhab Asy’ariyah berkata :

ابن الجوزي إمام أهل عصره في الوعظ، وصنف في فنون العلم تصانيف حسنة، وكان صاحب فنون، كان يصنف في الفقه، ويدرس وكان حافظًا للحديث، إلا أننا لم نرض تصانيفه في السنة، ذلك أن ابن الجوزي قد خالف الحنابلة في الكثير من مسائل الاعتقاد، حتى جلب على نفسه كثيرًا من المشاكل

“Ibnu al Jauzi adalah imam ahli zamannya dalam bidang nasihat. Ia telah menyusun berbagai karya yang bagus dalam berbagai cabang ilmu dan merupakan seorang ahli di banyak bidang. Ia juga menulis dalam ilmu fikih, mengajar, serta seorang penghafal hadis. Namun, kami tidak merasa puas dengan karya-karyanya dalam bidang sunnah, sebab Ibnu al-Jauzi telah menyelisihi pandangan mazhab Hanbali dalam banyak masalah akidah, hingga hal itu mendatangkan banyak masalah baginya.”[6]

Beliau juga berkata saat menukil dari imam al Muwaffaquddin :

وكان حافظا للحديث، وصنَّف فيه إلا أننا لم نَرْضَ تصانيفه في السُّنَّة ولا طريقته فيها

“Ia adalah seorang hafidz dalam ilmu hadits dan telah menulis karya-karya dalam bidang itu. Namun, kami tidak ridha dengan karya-karyanya dalam bidang sunnah/aqidah, begitu pula dengan thariqah dia dalam aqidah.”[7]

Al imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

فيوجد له من المقالات المتناقضة بحسب اختلاف حاله، كما يوجد لأبي حامد (الغزالي) والرازي وأبي الفرج بن الجوزي وغيرهم

"Terdapat padanya berbagai pernyataan yang saling bertentangan tergantung pada keadaannya, sebagaimana yang terjadi pada Abu Hamid al-Ghazali, Ar Razi, Abu a Faraj Ibnu Jauzi dan lainnya."[8]

Juga dari kalangan ulama Salafi kontemporer Mesir, Abu Asybal al Mishri berkata :

‌ابن ‌الجوزي عليه ‌رحمة ‌الله- ‌أشعري ‌أصيل، ‌وتجد ‌له ‌أحياناً ‌أقوالاً ‌في ‌غاية ‌الروعة ‌والجمال ‌في ‌مذهب ‌أهل ‌السنة ‌والجماعة، ‌ونبذ ‌الابتداع، ‌وتضليل ‌المبتدعة، ‌والأمر ‌بلزوم ‌وسلوك ‌سبيل ‌السلف، ‌ولكن ‌القضية ‌كانت ‌عند ‌ابن ‌الجوزي ‌غير ‌منضبطة، ‌فهو ‌يأمر ‌باتباع ‌السلف ‌ويخالفهم، ‌فقد ‌قال ‌في ‌قوله ‌تعالى: {‌وَيَبْقَى ‌وَجْهُ ‌رَبِّكَ ‌ذُو ‌الْجَلالِ ‌وَالإِكْرَامِ} [‌الرحمن: ‌قال ‌المفسرون: ‌معناه ‌يبقى ‌ربك، ‌ففسر ‌الوجه ‌بالذات.

“Ibnu Jauzi rahimahullah adalah seorang Asy’ari yang murni. Terkadang, dalam ucapannya terdapat ungkapan-ungkapan yang sangat indah dan mengagumkan dalam mendukung mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menjauhi bid‘ah, menyesatkan para pelaku bid‘ah, dan memerintahkan untuk mengikuti serta meniti jalan para salaf.

Namun, permasalahannya pada Ibnu Jauzi adalah ketidakkonsistenan. Ia memerintahkan untuk mengikuti salaf, tetapi di sisi lain ia menyelisihi mereka. Sebagai contoh, dalam tafsir firman Allah Ta’ala: “Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 27), ia berkata: “Para mufasir mengatakan bahwa maknanya adalah tetap kekal Tuhanmu,” sehingga ia menafsirkan kata wajah sebagai dzat.[9]

Bukti keempat : Karyanya

            Diantara kitab beliau yang dianggap oleh sebagian kalangan membela madzhab Asy’ari adalah yang berjudul Daf‘ Syubah at Tasybih bi Akuff at Tanzih. Kitab ini ditulis untuk membantah pandangan-pandangan tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan sifat makhluk) yang berkembang di kalangan sebagian pengikut madzhab Hanbali pada masanya.

Bukti kelima :  Kritik sehatnya terhadap Asy’ariyah

            Sebagian pihak terkadang mengatakan bahwa seorang ulama bukan Asy’ariyah, atau telah bertaubat dari madzhab ini dengan dalih adanya kritik mereka terhadap sebagian takwil yang dilakukan dalam madzhab ini. Padahal dalam setiap madzhab saling kritik itu adalah hal yang biasa, karena pendapat ulama dalam madzhab tersebut tidaklah maksum.

Adapun kritiknya beliau terhadap Ibnu Furak dalam ta’wil-ta’wilnya, tidak diragukan lagi bahwa banyak dari kalangan mutaakhkhirin Asy’ariyah telah berlebihan dalam melakukan ta’wil. Adapun celaan terhadap ta’wil secara mutlak, hal itu tidak sepatutnya keluar dari seseorang yang memiliki keutamaan. Bahkan salaf sendiri tidak mampu menghindarinya sehingga mereka terpaksa melakukan ta’wil terhadap sejumlah nash. Berikut beberapa contohnya:

  • Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma menafsirkan kata as-saq dalam firman Allah Ta’ala: “Pada hari betis disingkapkan” (QS. Al-Qalam: 42) dengan kesulitan. Hal ini dinukil oleh al Hafizh Ibnu Hajar dan imam Thabari yang mengatakan, “Sejumlah sahabat dan tabi’in dari kalangan ahli ta’wil mengatakan bahwa itu berarti urusan yang sangat berat.”[10]
  • Ibnu Abbas juga menafsirkan kata al-aydi dalam firman Allah Ta’ala: “Dan langit itu Kami bangun dengan tangan-tangan” (QS. Adz-Dzariyat: 47) dengan kekuatan. Hal ini disebutkan oleh imam Thabari, sedangkan al-aydi adalah bentuk jamak dari al-yad (tangan).[11]
  • Imam Ahmad menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Dan datanglah Tuhanmu” (QS. Al-Fajr: 22) dengan datangnya pahala-Nya. Ini dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An Nihayah dari Imam al Baihaqi dalam Manaqib Imam Ahmad, dan al Baihaqi menyebutkan sanadnya, lalu berkata: “Ini sanad yang tidak ada masalah padanya.”
  • Imam Ahmad juga menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Tidak datang kepada mereka suatu peringatan dari Tuhan mereka yang baru” (QS. Al-Anbiya: 2) dengan mengatakan: “Kemungkinan yang dimaksud adalah penurunan wahyu kepada kami yang baru.”[12]
  • Imam Bukhari menafsirkan tertawa yang disebutkan dalam beberapa hadis dengan rahmat.[13]

Bersambung ke Bagian VII : imam Thabari dan Qurthubi



[1] Dzail Thabaqat al Hanabilah (2/458 -512)

[2] Thabaqat al Hanabilah (1/144)

[3] Dzail Thabaqat al Hanabilah (1/414)

[4] Daf’ Shubhat al-Tashbih hal. 141

[5] Ibid

[6] Siyar A;lam Nubala (21/381)

[7] Al Mughni li Ibnu Qudamah (1/13)

[8] Dar’ Ta‘arudh (9/160)

[9] Syarah Ushul I’tiqad Ahlussunnah (21/62)

[10] Fath al-Bari (13/428), Tafsir Ath Thabari (29/38)

[11]  Tafsir at Thabari (7/27)

[12] Al Bidayah wa Nihayah (10/327)

[13] Asma wa Sifat hal. 470

IMAM DALAM DAKWAH DAN PEMILIK NASEHAT INDAH

 Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu Jauzi adalah ulama yang hidup di abad ke-6 Hijriyah dengan segudang prestasi, hampir di semua cabang ilmu beliau telah meninggalkan karya tulis . Al imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebut bahwa ia memiliki lebih dari 2000 karya tulis.[1] Karena saking begitu banyaknya karya yang telah ia tinggalkan, al imam adz Dzahabi rahimahullah sampai berkata :

ما علمت أن أحدا من العلماء صنف ما صنف هذا الرجل

“Aku belum pernah menjumpai adanya seorang ulama pun yang bisa menulis kitab seperti laki-laki ini.”[2]

Namun, keunggulan terbesar yang membedakan beliau dari ulama dan tokoh-tokoh besar Islam lainnya adalah bakat bawaan yang ia miliki dalam berdakwah dan kemampuannya yang luar biasa dalam memberikan nasehat. Beliau rahimahullah disebut-sebut sebagai keajaiban dalam seni nasihat, membakar semangat, dan memberikan inspirasi kepada jiwa-jiwa yang rapuh atau putus asa sekalipun untuk kemudian bangkit merajut mimpi dan cita-citanya kembali.

            Siapapun yang membaca karyanya seperti kitab Saidul Khatir, atau Bahru ad Dumu’, atau Bustan al Wa’izhin wa Riyadh as Sami’in, atau Tanbih Na’im dan lainnya pasti akan mengetahui betapa kuat, indah dan memukaunya pilihan kata yang digunakan oleh sang imam dalam menyampaikan untaian nasehatnya.

Al imam Adz Dzahabi berkata :

‌كان ‌رأسا ‌في ‌التذكير ‌بلا ‌مدافعة، يقول النظم الرائق، والنثر الفائق بديها، ويسهب، ويعجب، ويطرب، ويطنب، لم يأت قبله ولا بعده مثله، فهو حامل لواء الوعظ، والقيم بفنونه، مع الشكل الحسن، والصوت الطيب، والوقع في النفوس، وحسن السيرة،

"Beliau adalah pemimpin dalam seni mengingatkan (berdakwah) tanpa ada yang menandinginya. Beliau mampu mengucapkan syair yang indah dan prosa yang luar biasa secara spontan. Ia memperluas pembahasan, memukau, menggugah perasaan, dan memikat hati. Sebelum atau sesudahnya, tidak ada yang seperti beliau. Beliau adalah pembawa panji nasihat dan pengasuh seni-seninya, dengan penampilan yang menawan, suara yang merdu, pengaruh yang mendalam di hati, serta kepribadian yang baik.”[3]

Salah seorang muridnya al imam Ad Dibatsi rahimahullah berkata :

شيخنا ..وكان من أحسن الناس كلامًا، وأتمهم نظامًا، وأعذبهم لسانًا، وأجودهم بيانًا، وبورك له في عمره وعمله.

 

“Guru kami tersebut .. adalah salah satu orang yang paling indah dalam bertutur kata, paling sempurna dalam menyusun kalimat, paling manis dalam berbicara, paling fasih dalam menyampaikan, dan paling baik dalam menjelaskan. Allah telah memberkahi umurnya dan amalnya."[4]

 

Al imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : "Ibnul Jauzi adalah imam pada masanya dalam seni memberi nasihat …”[5]

            Disebutkan bahwa syaikh Ali Musthafa Thanthawi rahimahullah pernah ditanya tentang kata bijak terindah yang pernah dibacanya, maka beliau  menjawab : “Aku telah membaca lebih dari 70 tahun, namun aku belum pernah menemukan nasehat yang lebih indah melebihi apa yang pernah dikatakan oleh Ibnu Jauzi sebagai berikut :


إن مشقة الطاعة تذهب ويبقى ثوابها، وإن لذة المعاصي تذهب ويبقى عقابها.

“Sesungguhnnya keletihan karena melakukan ketaatan akan hilang, dan tinggallah pahalanya. Dan kenikmatan melakukan maksiat akan hilang dan tinggallah hukumannya.

كُن مع الله ولا تُبالي، ومُدّ يديك إليه في ظُلُمات اللّيالي، وقُل: يا رب ما طابت الدّنيا إلاّ بذكرك، ولا الآخرة إلاّ بعفوك، ولا الجنّة إلاّ برُؤيتك


Teruslah bersama Allah dan jangan pedulikan (apa kata orang lain) Tengadahkan tanganmu kepada-Nya di kegelapan malam, sembari berdoa : Ya Rabb, dunia ini takkan indah kecuali dengan mengingat-Mu. Akhirat takkan indah kecuali dengan ampunan-Mu. Dan surgapun takkan indah kecuali dengan melihat wajah-Mu.”

 

Al imam Ibnu Rajab al Hanbali pernah berkata :  “Orang shalih seperti al imam Ibnu Jauzi rahimahullah telah mengislamkan lebih dari 20.000 orang Yahudi dan Nasrani. Bertaubat dengan sebab nasehatnya 100.000 pelaku maksiat. Beliau juga telah meninggalkan karya lebih dari 2.000 kitab.

Namun orang dengan prestasi sebesar itu masih berkata kepada murid-muridnya :

"إذا دخلتم الجنة ولم تجدوني بينكم فاسألوا عني وقولوا :

"Jika kalian nanti telah berada di dalam syurga kemudian kalian tidak mendapatiku, maka carilah aku dan tanyakan :

يارب إن عبدك فلان كان يُذَكِّرُنا بك" .

"Ya Rabb, sesungguhnya hamba-Mu itu (Ibnu Jauzi) dulu pernah mengingatkan kami tentang diri-Mu."

            Setelah mengatakan itu  beliau pun menangis bercucuran air mata.[6]

            Semoga Allah ta’ala berkenan memberikan kepada sang imam sebaik-baik pahala dan balasan atas segala pengorbanan dan warisan keilmuannya untuk umat ini.



[1] Thabaqat al Hanabilah (2/481)

[2] Mu’jam al Kutub hal. 86

[3] Jami’ li Ulum Imam Ahmad (1/170)

[4] Siyar A’lam Nubala (21/373)

[5] Dzail Thabaqat al Hanabilah (1/414)

[6] Thabaqat al Hanabilah (2/481)

Sunday, 19 January 2025

BAGIAN KE V : BUKTI IZZ ABDUSSALAM SEORANG ASY’ARI

Oleh : Ahmad Syharin Thoriq

Al imam Izz bin Abdussalam adalah salah satu ulama besar yang dalam bidang fiqih disebut telah mencapai derajat mujtahid, seorang  mufassir dan muhaddits terkemuka. Dan yang paling istimewa dari gelar yang disematkan kepada beliau, sang imam mendapatkan julukan sulthanul ulama (rajanya para ulama) dan disebut-sebut sebagai mujadid Islam abad ketujuh Hijriyah.[1]

Imam Izz Abdussalam memiliki karya dalam berbagai bidang, seperti dalam  ilmu Tafsir al-Kabir li Ibn Abdissalam. Dalam ilmu fiqih, ada al Imam fi Adillatil Ahkam, Qawaidusy Syari’ah al Fawaid, dan Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, dan kitab-kitab lainnya.

Dan berikut ini adalah beberapa data yang bisa menjadi bukti bahwa sang imam dalam masalah Aqidah bermadzhab dengan madzhab Asy’ariyah.

Bukti pertama : Pemikirannya

Kita mengetahui posisi sang imam sebagai salah satu ulama yang bermadzhab Aqidah Asy’ariyah di antaranya adalah lewat karya-karya beliau yang secara gamblang mengungkap hal tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut :

الحمد لله ذي العزة والجلال والقدرة والكمال والإنعام والإفضال الواحد الأحد الفرد الصمد الذي لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد ليس بجسم مصور ولا جوهر محدود مقدر ولا يشبه شيئا ولا يشبهه شيء ولا تحيط به الجهات ولا تكتنفه الأرضون ولا السموات

"Segala puji bagi Allah, Dzat yang memiliki keperkasaan dan kemuliaan, kekuasaan dan kesempurnaan, anugerah dan keutamaan. Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Dia bukanlah jasad yang memiliki bentuk, bukan pula substansi yang terbatas ukurannya. Dia tidak menyerupai apa pun, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Dia tidak dikelilingi oleh arah, tidak diliputi oleh bumi maupun langit.”[2]

Beliau juga berkata :

 

استوى على العرش المجيد على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال فتعالى الله الكبير المتعال عما يقوله أهل الغي والضلال بل لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته مقهورون في قبضته

“Dia beristawa di atas 'Arsy yang agung dengan cara sebagaimana Dia firmankan dan dengan makna yang Dia kehendaki. Bersemayam yang disucikan dari sentuhan, kestabilan, tempat tinggal, penyatuan, atau perpindahan. Maha Tinggi Allah yang Maha Besar dari apa yang diucapkan oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang. 'Arsy tidaklah memikul-Nya, tetapi 'Arsy beserta para malaikat yang memikulnya berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, dikuasai oleh keagungan-Nya.”[3]

Bukti kedua : Sikapnya

Posisi beliau sebegai pembela Aqidah ahlusunnah madzhab Asy’ariyah bisa kita dapati dari sikap tegas beliau kepada sebagian pihak yang menyimpang kaitannya dengan isu Qur’an makhluk. Seperti kisah berikut ini :

وكانت طائفة من مبتدعة الحنابلة القائلين بالحرف والصوت ممن صحبهم السلطان في صغره يكرهون الشيخ عز الدين ويطعنون فيه وقرروا في ذهن السلطان الأشرف أن الذي هم عليه اعتقاد السلف وأنه اعتقاد أحمد بن حنبل رضي الله عنه وفضلاء أصحابه واختلط هذا بلحم السلطان ودمه وصار يعتقد أن مخالف ذلك كافر حلال الدم


Ada sekelompok kaum bid’ah dari kalangan Hanabilah yang berpandangan bahwa kalam Allah itu berupa huruf dan juga suara. Mereka adalah orang-orang yang pernah berhubungan dengan Sultan ketika ia masih kecil. Mereka tidak menyukai Syekh Izzuddin, bahkan mencela beliau. Mereka menanamkan dalam pikiran Sultan Al-Asyraf bahwa pandangan mereka adalah keyakinan salaf dan keyakinan Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhu serta ulama besar lainnya dari mazhab tersebut.

Keyakinan ini begitu meresap dalam diri Sultan hingga menjadi bagian dari daging dan darahnya, sehingga ia menganggap siapa pun yang berbeda pandangan dengan itu adalah kafir yang halal darahnya….”[4]


Bukti ketiga : Karya-karyanya

Dalam banyak karyanya sang imam telah menjelaskan bahwa madzhab Asy’ariyah adalah Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Aqidahnya kaum salaf terdahulu. Seperti dalam kitabnya Qawaid al Ahkam fi Mashalih al Anam dan dalam kitab tafsirnya al Izz Abdissalam.

Bukti keempat kesaksian ulama atasnya

Tentang madzhab Asy’ariyah yang beliau berada di atasnya, telah secara terang dinyatakan oleh para ulama seperti al imam Taqiyuddin as Subki dalam kitabnya Thabaqat Asy Syafi’iyyah, al imam Suyuthi dan lainnya.[5]

Bukti kelima : Pengakuan dan pembelaannya

Beliau rahimahullah berkata :

واعتقاد الأشعري رحمه الله مشتمل على ما دلت عليه أسماء الله التسعة والتسعون التي سمى بها نفسه في كتابه وسنه رسول الله صلى الله عليه

“Dan aqidah Imam al Asy'ari رحمه الله mencakup apa yang ditunjukkan oleh 99 nama Allah yang Dia sandangkan kepada diri-Nya dalam kitab-Nya dan yang disampaikan oleh Rasulullah …”[6]

Beliau juga berkata :

فهذا إجمال من اعتقاد الأشعري رحمه الله تعالى واعتقاد السلف وأهل الطريقة والحقيقة نسبته إلى التفصيل الواضح كنسبة القطرة إلى البحر الطافح

“Inilah ringkasan Aqidah Imam al Asy’ari yang merupakan Aqidah salaf, serta para ahli tarekat dan hakikat. Jika dibandingkan dengan rincian yang jelas, maka ringkasan ini bagaikan setetes air dibandingkan dengan lautan yang melimpah..”[7]


Bukti keenam : Merujuk para imam Asy’ariyah

Sang imam rahimahullah menjadikan ulama-ulama Asy’ariyah sebagai salah satu rujukan dalam banyak pendapat dan penjelasan yang beliau sampaikan dalam karya-karyanya. Misalnya ucapan beliau :

وقول ‌الأشعري لا يلزم ذلك لأن

"Dan pendapat dari imam Asy'ari: 'Hal itu tidaklah wajib, karena...”[8]

Dan perkataan beliau :

وقد كثرت مقالات ‌الأشعري حتى جمعها ابن فورك في مجلدين

"Dan sungguh, tulisan-tulisan al Asy’ari sangat banyak hingga Ibnu Furak mengumpulkannya dalam dua jilid."[9]

 

Bukti ketujuh : Pengakuan pihak “lawan”

Al imam Ibnu Taimiyah sendiri Ketika “mencela” sang imam Izz Abdussalam dengan pemahaman Asy’ariyahnya beliau berkata :

وأبو محمد و أمثاله سلكوا مسلك

"Abu Muhammad (imam Ibnu Abdisssalam) dan orang-orang seperti dia yang mengikuti jalan ...”[10]

 

Bukti kedelapan : Dikenal sebagai seorang Sufi

Imam Suyuthi rahimahullah berkata :

له كرامات كثيرة ولبس خرقة التصوف من الشهاب السهروردي

"Ia memiliki banyak karamah, dan ia mengenakan jubah sufisme dari Syihabuddin as Suhrawardi.”[11]

Imam adz Dzahabi rahimahullah berkata: 'Meskipun ia dikenal sangat keras, ia memiliki keahlian berbicara yang baik, menyampaikan kisah-kisah menarik dan syair. Ia menghadiri majelis sama’.” [12]

Bersambung ke bagian ke VI : imam Ibnu Jauzi..



[1] Al A’lam (4/21)

[2] Thabaqat Asy Syafi’iyyah (8/219)

[3] Al Mausu’ah al Maisarah (2/1244)

[4] Thabaqat Asy Syafi’iyyah (8/218)

[5] Thabaqat Asy Syafi’iyyah (8/218-238), Husn Al-Muhadharah (1/273)

[6] Thabaqat Asy Syafi’iyyah (8/219)

[7] Thabaqat Asy Syafi’iyyah (8/222)

[8] Qawaid al Ahkam (1/205)

[9] Qawaid al Ahkam (1/201)

[10] Naqd Al-Manthiq hal. 131

[11] Husn al Muhadharah (1/273)

[12] Al‘Ibar (3/299)